Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Nama
lengkapnya Malik bin Anas bin Malik bin Abu Amir bin Amir al-Asbahi al
Madani. Beliau dilahirkan di Madinah tahun 93 H. Sejak muda beliau
sudah hafal Al-Qur’an dan sudah nampak minatnya dalam ilmu agama.
Imam Malik belajar hadits kepada Rabi’ah, Abdurrahman bin Hurmuz, Az-Zuhry,
Nafi’ Maula Ibnu Umar. Belajar Fiqih kepada Said bin Al Musayyab,
Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar Shidiq, Abu
Salamah, Hamid dan Salim secara bergiliran. Belajar qiraat kepada Nafi’
bin Abu Nu’man.
Ibnu
Al-Kasim berkata : “Penderitaan Malik selama menuntut ilmu sedemikian
rupa, sampai-sampai ia pernah terpaksa harus memotong kayu atap
rumahnya, kemudian di jual kepasar”.
Imam
malik sangat memulikan ilmu dan menghormati hadits Nabi. Imam Malik
tidak mau mempelajari hadits dalam keadaan berdiri. Beliau juga tidak
mau menaiki kuda di kota Madinah karena beliau malu berkuda diatas kota yang dibawah tanahnya ada makam Rasulullah SAW.
Ibnu
Abdu Al-Hakam mengatakan : “ Malik sudah memberikan fatwa bersama-sama
dengan gurunya Yahya bin Sa’ad, Rabiah dan Nafi’, meskipun usianya
baru berusia 17 tahun. Beliau dikenal jujur dalam periwayatannya.
Abu
Dawud mengatakan : “Hadits yang paling shahih adalah yang diriwayatkan
oleh Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar. Sesudah itu adalah hadits dari
Malik dari Az Zuhry dari Salim dari ayahnya. Beriktnya adalah hadits
dari Malik dari Abu Zanad dari ‘Araj dari Abu Hurairah. Hadits mursal
Malik lebih shahih dari pada hadits mursal Said bin Al Musayyab atau
Hasan Al Basri.”
Sufyan mengatakan : “Jika Malik sudah mengatakan ‘balaghny’ telah sampai kepadaku, niscaya isnad hadits tersebut kuat”.
Imam Syafi’i mengatakan : “Jika engkau mendengar suatu hadits dari Imam Malik, maka ambillah hadits itu dan percayalah”.
Imam
Malik juga dikenal sangat hati-hati dalam masalah hukum halal-haram.
Imam Abdurrahman bin Mahdy meriwayatkan : “Kami pernah disamping Imam
Malik, ketika itu datang seorang laki-laki kepada beliau lalu berkata :
‘Dari perjalanan yang menghabiskan tempoenam bulan lamanya, para
kawanpenduduk dikampung saa membawa suatu masalah kepadaku untuk
ditanyakan kepada engkau”. Imam Malik berkata : “Bertanyalah”. Orang
tadi lalu menyampaikan pertanyaan kepada beliau dan beliau hanya
menjawab : “aku tidak memandangnya baik”. Orang itu terus mendesak
karena menginginkan Imam Malik lebih tegas memfatwakan hukumnya,
“Bagaimana nanti kalau kau ditanya orang di kampungku yang menyuruh aku
datang kemari, bilamana aku telah pulang kepada mereka ?” Imam Malik
berkata : “Katakan olehmu bahwa aku Malik bin Anas mengatakan tidak
menganggapnya baik”. Artinya beliau sangat hati-hati, tidak gegabah
menghukumi haram bila tidak ada dalil nash yang tegas mengharamkannya.
Imam
Malik dipandang ahli dalam berbagai cabang ilmu, khususnya ilmu hadits
dan fiqih. Tentang penguasaannya dalam hadits, beliau sendiri pernah
mengatakan : “Aku telah menulis dengan tanganku sendiri 100.000 hadits”.
Beliau mengarang kitab hadits Al-Muwatta’, merupakan kitab hadits
tertua yang sampai kepada kita.
Pada
masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al Manshur beliau pernah memberi
fatwa bahwa “akad orang yang dipaksa itu tidak syah”. Fatwa ini tidak
disukai oleh pemerintah karena bisa membawa konsekuensi juga bahwa
baiat kepada penguasa karena terpaksa adalah juga tidak syah dan itu
dianggap membahayakan kekuasaan Bani Abbas.
Gubernur
Madinah, Ja’far bin Sulaiman memerintahkan agar Imam Malik mencabut
fatwanya, namun Imam Malik menolak. Akibatnya gubernur memukulnya sampai
80 kali sampai tulang belikatnya retak dan mengaraknya diatas kuda
keliling kota Madinah. Sejak itu namanya bukannya menjadi cemar, justru makin melambung dan harum dimata umat.
Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau meminta Imam Malik agar datang ke Baghdad
dan mengajarkan Al Muwatta’ untuk keluarga istana, maka Imam Malik
berkata , “ Ilmu itu didatangi bukan sebaliknya”. Akhirnya Khalifah
Harun Al Rasyid bersama dua anaknya Al Ma’mun dan Al Amin datang ke
Madinah untuk belajar kitab Al Muwatta’.
Khalifah
Harun Al Rasyid pernah berkata : “Aku akan menggiring manusia kepada
kitab Al Muwatta’ sebagaimana Usman menggiring pada Mushaf Al-Qur’an”.
Keinginan Khalifah tersebut dijawab oleh Imam Malik bahwa hal itu tidak
mungkin, karena sejak Masa Khalifah Usman, sahabat Nabi sudah tersebar
ke berbagai kota dan masing-masing mengembangkan ijtihad dan berfatwa.
Kemudian Imam Malik pun mengarang kitab kumpulan fatwa-fatwa sahabat,
yaitu : Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras), Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan) dan Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Metode Ijtihad Imam Malik bin Anas :
- Al-Qur’an
- Hadits (termasuk hadits dhaif yang diamalkan penduduk Madinah).
- Ijma’
- Atsar yang diamalkan penduduk Madinah.
- Qiyas
- Mashlahah Mursalah (keluar dari Qiyas umum karena alasan mencari maslahat)
- Perkataan Sahabat.
Bila
dibandingkan dengan Imam Abu Hanifah (aliran Kufah), mazhab Imam Malik
mewakili aliran Hijaz lebih banyak berdasarkan hadits dan atsar, lebih
sedikit menggunakan porsi dengan ra’yu (Qiyas).
Kitab Kitab Mazhab Maliki :
1. Kitab Hadits, Al Muwatta’.
2. Syada’id Abdullah bin Umar (Pendapat-pendapat Abdullah bin Umar yang keras)
3. Rukhas Abdullah bin Abbas (Pendapat-pendapat Abdullah bin Abbas yang ringan)
4. Shawazh Abdullah Ibnu Mas’ud (Pendapat-pendapat Abdullah bin Mas’ud).
Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i (150-204 H)
Seorang
pemuda Quraisy yang nasabnya bertemu dengan nasab Rasulullah pada Abdu
Manaf, kakek generasi keempat diatas Rasulullah. Beliau lahir di
Ghaza, Palestina (riwayat lain lahir di Asqalan, perbatasan dengan
Mesir) pada tahun 150 H, pada tahun yang sama dengan meninggalnya Imam
Abu Hanifah. Beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, diasuh dan
dibesarkan oleh ibunya dalam kondisi serba kekurangan (miskin).
Beliau
dikenal sebagai murid yang sangat cerdas. Pada usia tujuh tahun sudah
dapat menghafal Al-Qur’an. Kemudian beliau pergi ke kampung Bani Huzail
untuk mempelajari sastra Arab dari Bani Huzail yang dikenal halus
bahasanya. Sampai suatu ketika beliau bertemu dengan Muslim bin Khalid
Az Zanji yang menyarankan agar beliau mempelajari fiqih.
Imam
Syafi’i kemudian berguru kepada Imam Muslim bin Khalid Az Zanji (mufti
Mekkah). Pada usia 10 tahun Imam Syafi’I sudah hafal kitab Al-Muwatta’
karya imam Malik. Pada usia 13 tahun bacaan Al-Qur’an imam Syafi’i
yang sangat merdu mampu membuat pendengarnya menangis tersedu-sedu.
Pada usia 15 tahun beliau diijinkan oelh gurunya untuk memberi fatwa di
Masjidil Haram.
Ketika berumur 20 tahun Imam Syafi’i ingin berguru langsung kepada Imam Malik bin Anas, pengarang kitab Al Muwatta’ di Madinah. Niat itu didukung oleh gurunya dan didukung juga oleh gubernur Mekkah yang membuatkan surat pengantar untuk gubernur Madinah meminta dukungan bagi keperluan Imam Syafi’i dalam belajar kepada Imam Malik di Madinah.
Dengan diantar gubernur Madinah, Imam Syafi’i mendatangi rumah Imam Malik. Mula-mula Imam Malik kurang suka dengan adanya surat
pengantar dalam urusan menuntut ilmu. Tapi setelah pemuda Syafi’i
bicara dan mengemukakan keinginannya yang kuat untuk belajar, apalagi
setelah mengetahui bahwa pemuda Syafi’i telah hafal Al-Qur’an dan hafal
kitab Al Muwatta’ karangannya, maka Imam Malik menjadi kagum dan
akhrinya menerimanya menjadi muridnya.
Imam Syafi’i kemudian
menjadi murid kesayangannya dan tinggal di rumah Imam Malik. Imam
Syafi’i juga dipercaya mewakili Imam Malik membacakan kitab Al-Muwatta’
kepada jamaah pengajian Imam Malik. Sekitar satu tahun Imam Syafi’i
tinggal bersama Imam Malik bin Anas, hingga akhirnya Imam Syafi’i ingin
pergi ke Irak, untuk mempelajari fiqih dari penduduk Irak, yaitu
murid-murid Imam Abu Hanifah. Imam Malik pun mengijinkan dan memberikan
uang saku sebesar 50 dinar.
Sesampai
di Irak, imam Syafi’i menjadi tamu Imam Muhammad Al Hasan (murid Abu
Imam Abu Hanifah). Beliau banyak berdiskusi dan mempelajari kitab-kitab
mazhab Hanafi yang dikarang oleh Muhammad Al Hasan dan Abu Yusuf.
Setelah sekitar dua tahun berdiam di Irak, Imam Syafi’i meneruskan
pengembaraan ke Persia, Anatolia, Hirah, Palestina, Ramlah. Di setiap kota
yang dikunjungi Imam Syafi’i mengunjungi ulama-ulama setempat,
melakukan diskusi mempelajari ilmu dari mereka dan mempelajari
adat-istiadat budaya setempat. Setelah bermukim 2 tahun di Irak dan 2
tahun mengembara berkeliling ke negeri negeri Islam akhirnya Imam
Syafi’i kembali ke Madinah dan disambut penuh haru oleh gurunya yaitu
Imam Malik bin Anas. Kemudian Imam Syafi’i selama empat tahun lebih
tinggal di rumah Imam Malik dan membantu gurunya dalam mengajar, sampai
meninggalnya Imam Malik pada tahun 179 H.
Sepeninggal
Imam Malik, ketika itu beliau berusia 29 tahun, maka tidak ada lagi
orang yang membantu keperluan beliau. Atas pertolongan Allah pada tahun
itu juga datang wali negeri Yaman ke Madinah yang mengetahui bahwa Imam
Malik bin Anas telah wafat dan mengetahui tentang salah seorang
muridnya yang cerdas dan ahli yaitu Imam Syafi’i. Wali Negeri Yaman
mengajak Imam Syafi’i ikut ke Yaman untuk menjadi sekertaris dan
penulis istimewanya. Di Yaman beliau menikah dengan Hamidah binti Nafi
(cucu Usman bin Affan) dan dikaruniai seorang putra dan dua orang
putri.
Di
Yaman Imam Syafi’i juga masih terus belajar, terutama kepada Imam
Yahya bin Hasan. Disana beliau juga banyak mempelajari ilmu firasat
yang pada saat itu sedang marak dipelajari.
Pada
waktu itu Yaman merupakan salah satu pusat pergerakan kaum Alawiyin
yang berusaha memberontak terhadap kekuasaan Bani Abbas. Berdasarkan
laporan mata-mata Khalifah maka beberapa tokoh orang-orang Alawiyin dan
termasuk juga Imam Syafi’i ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diinterogasi oleh Khalifah Harun Al Rasyid.
Setelah
diinterogasi dan berdialog dengan Khalifah Harun Al Rasyid, beliau
dibebaskan dari segala tuduhan, sedangkan semua orang-orang Alawiyin
dibunuh oleh Khalifah. Setelah bebas dibebaskan, Imam Syafi’i sempat
beberapa lama tinggal di Baghdad dan menuliskan fatwa-fatwa qaul qadim (pendapat lama) nya. Selama di Baghdad ini pula pemuda Ahmad bin Hanbal berguru kepada beliau mempelajari fiqih.
Pada
sekitar tahun 200 H, Abbas bin Abdullah diangkat menjadi gubernur
Mesir. Gubernur Mesir yang baru tersebut mengajak Imam Syafi’i ikut ke
Mesir untuk dijadikan Qadly sekaligus mufti di Mesir. Maka akhirnya Imam
Syafi’I tinggal di Mesir bersama sang Gubernur.
Setibanya di Mesir, Imam Laits bin Sa’ad mufti Mesir telah meninggal, maka beliau mempelajari fiqih Imam Laits melalui murid-muridnya. Di Mesir inilah beliau menuliskan fatwa-fatwa qaul jadid
(pendapat baru) nya. Imam Syafi’i terus mengajar dan menjadi mufti,
memberikan fatwa-fatwa di Masjid ‘Amr bin Ash sampai wafatnya.
Metode Ijtihad Imam Syafi’i :
1. Al-Qur’an
2. Hadis
3. Ijma’
4. Qiyas
5. Istidlal
Imam
Syafi’i adalah orang pertama yang menyusun sistematika, perumus dan
yang mengkodifikasikan ilamu Ushul Fiqih, melalui kitabnya Ar Risalah.
Beliau menerangkan cara-cara istinbath (pengambilan hukum) dari
Al-Qur’an dan Hadist, menerangkan mukashis nash yang mujmal, menerangkan
cara mengkompromikan dan men tarjih nash-nash yang secara zahirnya
saling bertentangan, menerangkan kehujahan Ijma’, qiyas dsb. Imam
Syafi’i Juga melakukan penilaian terhadap metode ihtihsan Imam Abu
Hanifah, metode maslahah mursalah dan praktek penduduk Madinah yang
dipakai oleh Imam Malik.
Kitab-kitab mazhab Syafi’i :
1. Ar Risalah, kitab pertama yang menguraikan tentang ilmu Ushul Fiqih.
2. Al ‘Um (kitab induk), berisi pembahasan berbagai masalah fiqih.
3. Jami’ul Ilmi.
4. Ibthalul-Istihsan, berisi penilaian terhadap metode Istihsan.
5. Ar-Raddu
‘ala Muhammad ibn Hasan, berisi mudhabarah, diskusi dan bantahan
terhadap pendapat Muhammad ibn Hasan, murid utama Imam Abu Hanifah.
6. Siyarul Auza’y, berisi pembelaan terhadap Imam Al-Auza’y.
7. Mukhtaliful Hadits, berisi cara mengkompromikan hadits-hadits yang secara zahir saling bertentangan.
8. Musnad Imam Syafi’i, berisi kumpulan hadits yang diterima dan diriwayatkan oleh Imam Syafi’i.
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H)
Lahir di kota Baghdad
pada tahun 164 H. Ayahnya meninggal ketika beliau masih anak-anak dan
kemudian dibesarkan dan diasuh oleh ibunya. Kota Baghdad pada waktu itu
merupakan ibukota Kekhalifahan Bani Abbas dan merupakan gudangnya para
ulama dan ilmuwan. Imam Ahmad bin Hanbal banyak berguru pada
ulama-ulama di kota kelahirannya tersebut.
Ketika
berumur 16 tahun, pemuda Ahmad bin Hanbal pergi mengembara menuntut
ilmu, terutama berburu hadits-hadits Nabi sampai ke Kufah, Basrah, Syria, Yaman, Mekkah dan Madinah.
Mengenai
gurunya ada puluhan orang yang semuanya adalah ulama-ulama dalam
berbagai bidang ilmu. Diantara gurunya adalah Sufyan bin Uyainah, Abu
Yusuf Al Qadhy dan Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
Imam
Hanbali dikenal sangat gemar dan bersemangat menuntut ilmu, berburu
hadits, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Imam Abu Zu’rah mengatakan : “Imam
Ahmad bin Hanbal hafal lebih dari 1.000.000 (satu juta) hadits”.
Sementara anaknya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Ayahku
telah menuliskan 10.000.000 hadits banyaknya dan tidaklah beliau
mencatatnya hitam diatas putih, melainkan telah dihafalnya diluar
kepala”.
Ketika
pemerintahan ada ditangan Khalifah Al Ma’mun, saat itu kaum Mu’tazilah
berhasil mempengaruhi Khalifah untuk mendukung pemikiran mereka dan
mempropagandakan pendapat bahwa Al-Qur’an adalah mahkluk. Kaum
Mu’tazilah yang didukung penuh oleh Khalifah Al-Ma’mun memaksakan
pendapat itu kepada seluruh rakyat.
Para
Ulama yang tidak sependapat ditangkap dan diinterogasi ke istana.
Hampir semua ulama tidak berani menentang karena takut dihukum berat.
Satu-satunya ulama yang tetap istiqomah menentang pendapat bahwa
Al-Qur’an adalah makhluk hanyalah Imam Ahmad bin Hanbal. Akibatnya
beliau disiksa, dipukuli dan hampir saja dibunuh. Rupanya Allah
menyelamatkan beliau karena tiba-tiba Khalifah Al Ma’mun meninggal
secara mendadak di Tharsus, sehingga eksekusi hukuman mati kepada Imam
Ahmad bin Hanbal tidak sampai dilaksanakan.
Sepeninggal
Al Ma’mun, dua orang Khalifah penggantinya yaitu Al Muntashir dan
Al-Watsiq masih meneruskan kebijaksanaan mendukung kaum Mu’tazilah dan
progandanya bahwa Al-Qur’an adalah makhluk. Selama itu Imam Ahmad bin
Hanbal hidup dalam persembunyian dan mengasingkan diri.
Setelah
Al-Watsiq, yang naik tahta adalah Khalifah Al-Mutawakil. Pada masa
Al-Mutawakil inilah propaganda bahwa Al-Qur’an adalah makhluk dihentikan
sama sekali. Bahkan Khalifah menangkapi dan menghukum ulama-ulama
Mu’tazilah yang dahulu menjadi pelopor utama propaganda kemakhlukan
Al-Qur’an.
Khalifah
Al Mutawakil sangat menghormati dan memuliakan Imam Ahmad bin Hanbal.
Beliau dijadikan penasehat resmi istana, dan Khalifah mendukung penuh
ajaran-ajaran Imam Ahmad bin Hanbal dan para ahli hadits.
Metode Ijtihad Imam Ahmad bin Hanbal :
1. Al-Qur’an
2. Hadits
3. Ijma’ Sahabat
4. Fatwa Sahabat
5. Atsar Tabi’in
6. Hadits Mursal / Dhaif
7. Qiyas
Metode
istinbath Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak menyandarkan pada hadits
dan atsar dari pada menggunakan ra’yu (ijtihad). Beliau lebih menyukai
berhujjah dengan hadis dhaif untuk masalah furu’iyah daripada
menggunakan Qiyas.
Kitab-kitab mazhab Hanbali :
- Tafsir Al-Qur’an.
- Musnad Imam Ahmad, sebuah kitab kumpulan hadits yang tebal.
- Kitab Nasikh wal Mansukh.
- AL Muqaddam wal Muakhkhar fil Qur’an.
- Jawabatul Qur’an.
- Kitab At Tarikh.
- Al Manasikul Kabir.
- Al Manasikus Saghir.
- Tha’atur Rasul.
10. Al-‘Illah.
11. Kitab Zuhud.
12. Kitab Ash Shalah.
III. Ijtihad
Ijtihad
adalah mempergunakan segala kesanggupan untuk mengeluarkan (istinbath)
hukum syara’ dari sumbernya (Al-Qur’an dan Hadits).
A. Aliran Hadits / Atsar
Para
ulama hijaz (Mekkah-Madinah) yang dipelopori oleh Said Al Musayyab
dalam ber ijtihad lebih banyak bersandar kepada hadits dan atsar
sahabat. Kelompok Hijaz ini banyak jarang menggunakan ra’yu (qiyas)
dalam metode ijtihadnya, dengan latar belakang sebagai berikut :
1. Penduduk Hijaz mewarisi kekayaan hadits dan atsar dari para Sahabat Nabi yang banyak tinggal di Hijaz, seperti ketetapan Abu Bakar, Umar, Usman, juga fatwa-fatwa dari : Zaid bin Tsabit, Aisyah dan riwayat dari Abu Hurairah, Abu Said Al Kudry, dll.
2. Negeri Hijaz yang berada di pedalaman semenanjung Arabia, relatif tidak banyak mengalami dinamika perubahan sosial.
3. Banyaknya
Hadits dan atsar yang mereka terima dan ditunjang oleh dinamika sosial
yang lebih statis menyebabkan mereka kurang menggunakan daya analisis.
Ulama Hijaz lebih mencukupkan diri dengan memegangi teks-literalis
nash.
4. Mengikuti
guru mereka, yaitu Abdullah bin Umar yang sangat tergantung pada
hadits dan atsar dan sangat hati-hati dalam menggunakan ra’yu (qiyas).
B. Aliran Ra’yu
Setelah
terbunuhnya Khalifah Usman, kemudian berlanjut dengan perang Jamal
yang menuntut balas atas darah Usman. Muawiyah tidak mengakui
kekhalifahan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang Shiffin.
Setelah peristiwa tahkim muncul kaum Khawarij dan kelompok Syiah.
Kericuhan itu terus berlanjut sampai terbunuhnya Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Setelah itu Bani Umayyah menguasai pemerintahan dengan cara
paksa.
Kelompok
Khawarij, Syiah dan Bani Umayyah satu sama lain saling bermusuhan dan
saling menumpahkan darah. Sejak itu mulai timbul hadits-hadits palsu
yang dibuat untuk memperkuat kelompoknya masing-masing. Kelompok Syiah
Rafidah yang bermarkas di Kufah dikenal paling banyak membuat Hadits
palsu. Dengan latar belakang tersebut selanjutnya para ulama Kufah
sangat hati-hati dalam menerima periwayatan hadits.
Para Ulama Kufah (Iraq)
yang dipelopori oleh Ibrahim An Nakhay dalam ijtihadnya menggunakan
ra’yu (qiyas) dengan porsi yang lebih besar daripada ulama Hijaz. Hal
itu dilatar belakangi oleh hal-hal sebagai berikut :
- Para
Sahabat Nabi yang tinggal di Kufah tidak sebanyak yang tinggal di
Hijaz, sehingga kekayaan hadits dan atsar yang mereka terima tidak
sebanyak yang diterima penduduk Hijaz. Penduduk Kufah menerima hadits
dari : Ibnu Mas’ud, Sa’ad bin Abi Waqash, Ali bin Abi Thalib, Amar bin
Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Mughirah bin Sub’ah, Anas bin Malik,
Hudzaifah bin Al Yaman.
- Di
Kufah mulai marak para pemalsu hadits, terutama dari kelompok Syiah
Rafidah, sehingga Ulama Kufah lebih hati-hati dan lebih selektif dalam
menerima hadits.
- Kufah adalah kota yang lebih ramai dibanding Hijaz, berdekatan dengan wilayah Persia
yang sebelum memeluk agama Islam, penduduknya sudah mempunyai
peradaban dan cara berpikir yang maju (rasional). Disamping itu di
Kufah merupakan pusat pergerakan kaum Syiah dan Khawarij. Jadi di Kufah
mengalami dinamika perubahan sosial yang lebih tinggi yang menuntut
pemikiran daripada sekedar mengandalkan teks hadits yang diterima dari
riwayat sahabat di masa Nabi.
- Menurut
Ulama Kufah hukum syariat memiliki makna logis, mencakup seluruh
kemaslahatan umat, didasarkan pada pokok-pokok yang muhkam (jelas dan
dapat dipahami) dan mengandung alasan-alasan yang tepat bagi hukum.
Mereka berusaha meneliti alasan-alasan dari setiap penetapan hukum dan
menggali hikmah yang terkandung didalamnya (qarinah dan maqashid
syari’ah), serta menjadikan hukum itu sejalan dengan himah yang didapat.
Kadang-kadang mereka menolak sebagian hadits ahad karena dianggap
bertentangan dengan hikmah persyaratannya. Apalagi bila mereka
mendapatkan hadits/atsar yang bertentangan dengan hikmah pen
syari’atannya.
- Ulama Kufah mengikuti metode ijtihad guru mereka dari sahabat Nabi Abdullah bin Mas’ud yang
dikenal mengikuti Umar bin Khattab yang banyak menggunakan daya
analitis memperhatikan qarinah, maqashid syari’ah dan pertimbangan
kemaslahatan.
Gambaran perbedaan paham antara ahli qiyas dan ahli hadits :
Pada
suatu hari Rabi’ah (ahli qiyas) bertanya kepada Said Al Musayyab (ahli
hadits) tentang diyat (denda) anak jari perempuan yang terpotong :
Rabi’ah :”Berapa diyat terhadap sebuah anak jari orang perempuan ?”
Said Al Musayyab: “10 ekor onta”.
Rabi’ah : Jika dua anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : “Jika tiga anak jari ?”
Said Al Musayyab :”30 ekor onta”.
Rabi’ah : “Jika empat anak jari ?”
Said Al Musayyab : “20 ekor onta”
Rabi’ah : ”Apakah makin banyak jari yang terpotong, semakin besar diyatnya ?”
Said Al Musayyab : “Apakah anda bermazhab ulama Iraq ? itulah sunnah saya telah terangkan”.
Demikianlah
ahli hadits hanya menerima mentah-mentah teks hadits, sedangkan ahli
ra’yu tidak begitu saja menerima teks hadits yang tidak diketahui
illlat-illat hukumnya atau yang tidak logis menurut akal. Bagaimana
diyat empat anak jari malah turun menjadi 20 ekor, padahal diyat satu
anak jari sampai tigak anak jari naik terus dari 10 sampai 30 ekor.
Pada suatu hari Al Auza’i bertemu dengan Abu Hanifah di Mekkah, kemudian Al Auza’i bertanya kepada Abu Hanifah :
Al Auza’i : “Mengapa tuan tidak mengangkat tangan ketika ruku’ dan I’tidal ?”
Abu Hanifah : “Karena tidak ada hadits yang shahih dari Rasul”.
Al
Auza’i : “Az Zuhri telah meriwayatkan kepada saya dari Salim, dari
ayahnya Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, bahwasanya Nabi ada
mengangkat tangan saat memulai shalat, saat ruku’ dan ketika I’tidal”.
Abu
Hanifah : “Telah diriwayatkan kepada kami oleh Hammad bin Sulaiman
dari Alqamah dari Al Aswad dari Ibnu Mas’ud bahwa Rasulullah tidak
mengangkat tangan selain dari saat memulai shalat saja”.
Al Auza’i : “Saya kemukakan penilaian tentang Az Zuhri dan anda kemukakan penilaian tentang Hammad”.
Abu
Hanifah : “Hammad lebih pandai dalam urusan fiqih daripada Az Zuhri.
Ibrahim lebih pandai dari Salim, Alqamah tidak kurang derajadnya
daripada Abdullah, walaupun seorang Shahabi”.
Mendengar jawaban itu, Al Auza’i pun minta diri. Dari situ tampak bagaimana Abu hanifah sebagai tokoh ahli qiyas lebih mengutamakan kefaqihan perawi daripada ketinggian sanad.
Demikianlah beberapa contoh perbedaan paham antara ahli hadits dan ahli ra’yu.
C. Aliran zahiri
Dipelopori
oleh Daud bin Ali Al-Zhahiri (202-268 H), yang hanya memegangi makna
zhahir (tekstualis-literalis) nash Al-Qur’an dan Hadits tanpa mau
memegangi makna lainnya.
Kalau
digambarkan secara kualitatif metode para imam mazhab dalam
menggunakan metode istinbath Hadist-tekstualis dan Qiyas-rasionalis
kurang lebih seperti dibawah ini :
Hadits Qiyas
Tekstualis Daud bin Ali (Zahiri) - Hanbali – Maliki – Syafi’i - Hanafi Rasionalis
D. Sumber Perbedaan Pendapat
Bagi
yang sudah membaca Ushul Tafsir dan Ilmu Hadits disitu ada beberapa
ulasan tentang Al-Qur’an dan Hadits yang diantaranya menjadi sumber
perbedaan pendapat diantara para ulama Mujtahid. Sumber perbedaan
pendapat didalam Fiqih :
1. Perbedaan memahami Al-Qur’an
A. Adanya ayat-ayat yang musytarak (lebih dari dua arti).
B. Adanya ayat-ayat yang masih mujmal (global).
C. Adanya ayat-ayat yang ‘Am (umum)
D. Adanya perbedaan penafsiran cakupan lafazh.
E. Adanya perbedaan penafsiran makna hakiki-majasi.
F. Adanya perbedaan pendapat penggunaan mafhum.
G. Perbedaan pendapat memahami ayat perintah dan larangan.
2. Perbedaan Memahami Hadits
A. Perbedaan penilaian kesahihan sebuah hadits ahad.
B. Perbedaan penilaian ke-tsiqoh-an seorang rawi.
C. Perbedaan sampainya hadits kepada para Mujtahid.
D. Perbedaan penafsiran matan (redaksi) suatu hadits.
E. Perbedaan penerimaan hadits dhaif sebagai hujjah.
F. Perbedaan perimaan hadits yang ada mukhtalif (pertentangan) dengan qiyas dan atau illat syari’ah
3. Perbedaan Metode Ijtihad.
A. Imam Abu Hanifah :
a. Berpegang pada dalalatul Qur’an
i. Menolak mafhum mukhalafah
ii. Lafz umum itu statusnya Qat’i selama belum ditakshiskan
iii. Qiraat Syazzah (bacaan Qur’an yang tidak mutawatir) dapat dijadikan dalil
b. Berpegang pada hadis Nabi
i. Hanya menerima hadis mutawatir dan masyhur (menolak hadis ahad kecuali diriwayatkan oleh ahli fiqh)
ii. Tidak hanya berpegang pada sanad hadis, tetapi juga melihat matan-nya
c. Berpegang pada qaulus shahabi (ucapan atau fatwa sahabat)
d. Berpegang pada Qiyas
i. mendahulukan Qiyas dari hadis ahad
e. Berpegang pada istihsan (keluar dari Qiyas umum karena ada sebab khusus yang lebih kuat).
B. Imam Malik
a. Nash (Kitabullah dan Sunnah yang mutawatir)
i. zhahir Nash
ii. menerima mafhum mukhalafah
b. Berpegang pada amal perbuatan penduduk Madinah
c. Berpegang pada Hadis ahad (jadi, beliau mendahulukan amal penduduk Madinah daripada hadis ahad)
d. Qaul shahabi
e. Qiyas
f. Istihsan
g. Mashlahah
al-Mursalah (mempertimbangkan aspek kemaslahatan, contoh beliau
membolehkan intimidasi dalam penyidikan tersangka kejahatan untuk
mendapatkan pengakuannya).
C. Imam Syafi’i
a. Qur’an
dan Sunnah (artinya, beliau menaruh kedudukan Qur’an dan Sunnah secara
sejajar, karena baginya Sunnah itu merupakan wahyu ghairu matluw).
Inilah salah satu alasan yang membuat Syafi’i digelari “Nashirus
Sunnah”. Konsekuensinya, menurut Syafi’i, hukum dalam teks hadis boleh
jadi menasakh hukum dalam teks Al-Qur’an dalam kasus tertentu)
b. Ijma’
c. hadis ahad (jadi, Imam Syafi’i lebih mendahulukan ijma’ daripada hadis ahad)
d. Qiyas (berbeda dg Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i mendahulukan hadis ahad daripada Qiyas)
e. Beliau tidak menggunakan fatwa sahabat, istihsan dan amal penduduk Madinah sebagai dasar ijtihadnya
D. Imam Ahmad bin Hanbal
a. An-Nushush (yaitu Qur’an dan hadis. Artinya, beliau mengikuti Imam Syafi’i yang tidak menaruh Hadis dibawah al-Qur’an)
menolak ijma’ yang berlawanan dengan hadis Ahad (kebalikan dari Imam Syafi’i)
menolak Qiyas yang berlawanan dengan hadis ahad (kebalikan dari Imam Abu Hanifah)
b. Berpegang pada Qaulus shahabi (fatwa sahabat)
c. Ijma’
d. Hadis dhaif
e. Qiyas
IV. Pembagian Pembahasan Fiqih
Ibnu Rusyd dalam kitabnya “Bidayatul Mujtahid” membagi pembahasan fiqih sebagai berikut :
1. Bagian Ibadah.
1.1. Kitab Taharah
1.1.1. Taharah dari hadas
1.1.2. Taharah dari najis
1.2. Kitab Kitab Shalat
1.3. Kitab Janazah
1.4. Kitab Zakat
1.5. Kitab Zakat Fitrah
1.6. Kitab Shiyam (puasa)
1.7. Kitab I’tikaf
1.8. Kitab Haji
1.9. Kitab Jihad
1.10. Kitab Aiman (sumpah)
1.11. Kitab Nadar
1.12. Kitab Qurban
1.13. Kitab Sembelihan
1.14. Kitab Berburu
1.15. Kitab Aqiqah
1.16. Kitab makanan dan minuman yang haram
2. Bagian Munakahat
2.1. Kitab Nikah
2.2. Kitab Talak
2.3. Kitab Ila’ (sumpah talak)
2.4. Kitab Dhihar
2.5. Kitab Li’an (mengatakan punggung istrinya sama dengan punggung ibunya)
2.6. Kitab Hadlanah (yang berhak memelihara anak)
2.7. Kitab Radla’i (penyusuan anak)
2.8. Kitab Nafkah
2.9. Kitab Nasab
2.10. Kitab Ihdad (berkabung)
3. Bagian Muamalat Madaniyah
3.1. Kitab Buyu’ (jual beli)
3.2. Kitab Sharfi (jual beli perhiasan)
3.3. Kitab Salam (jual beli pesanan)
3.4. Kitab Khiyar (pilihan untuk meneruskan atau membatalkan transaksi)
3.5. Bai’il Murabahah (penjualan yang ditentukan jumlah keuntungannya oleh penjual)
3.6. Kitab Bai’il Ariyah (memberikan pohon untuk dimakan buahnya)
3.7. Kitab Irat (sewa-menyewa)
3.8. Kitab Ju’li (upah bagi yang menemukan barang yang hilang)
3.9. Kitab Qiradli (berdua laba)
3.10. Kitab Musaqah (paroh hasil merawat kebun)
3.11. Kitab Syarikah (berdua saham)
3.12. Kitab Syuf’ah
3.13. Kitab Qismah (pembagian)
3.14. Kitab Ruhun (gadai)
3.15. Kitab Al Hajr (orang yang dilarang bertindak sendiri)
3.16. Kitab Taflis (orang pailit)
3.17. Kitab Shulhi (kesepakatan damai dari persengketaan)
3.18. Kitab Jaminan dan Tanggungan
3.19. Kitab Hawalah (pemindahan hutang)
3.20. Kitab Wakalah (memberi kuasa)
3.21. Kitab Luqathah (barang temuan)
3.22. Kitab Wadi’ah (menitipkan barang)
3.23. Kitab ‘Ariyah (peminjaman barang)
3.24. Kitab Ghasbi (penyerobotan hak milik orang lain)
3.25. Kitab Ishtihqaq (memperoleh kembali haknya)
3.26. Kitab hibah
3.27. Kitab Washaya
3.28. Kitab Faraidl (warisan)
3.29. Kitab ‘Itqi (memerdekakan budak)
3.30. Kitab Kitabah (menebus diri dari perbudakan)
3.31. Kitab Tadbir (kemerdekaan budak setelah tuannya meninggal)
3.32. Kitab Umahatil Aulad (budak yang dijadikan ibu anaknya)
4. Bagian Inayat wa Uqubat (pidana)
4.1. Kitab Qisas (pembunuhan dan melukai)
4.2. Kitab Jarahi (qisas, diat, pembebasan tuntutan)
4.3. Kitab Diyat (denda pembunuhan)
4.4. Kitab Qasamah (sumpah penduduk yang ditemukan mayat di kampungnya)
4.5. Kitab Zina
4.6. Kitab Qadzaf (tukas)
4.7. Kitab Khamr
4.8. Kitab Sariqah (pencurian)
4.9. Kitab Hirabah (perampokan, penjarahan, perusuh)
5. Bagian Peradilan
5.1. Kitab Aqdliyah (kehakiman)
5.2. Kitab Syahadah (kesaksian dan sumpah menolak tuduhan)
V. Mujtahid, Mufti dan Hakim
A. Jenis Mujtahid
1. Mujtahid Mutlaq : yaitu para Khulafaur Rasyidin, yang sudah ada garansi dan rekomendasi dari Rasul untuk diikuti oleh umat.
2. Mujtahid Mustaqil : yaitu para imam mazhab fiqih yang muktabar.
3. Mujtahid fil Mazhab : yaitu lebih banyak mengikuti salah satu imam mazhab tapi dalam beberapa masalah
pokok berbeda pendapat dengan imamnya. Contohnya Abu Yusuf, Muhamad Al
Hasan dari mazhab hanafi, Al Muzany dari mazhab Syafi’i.
4. Mujtahid
fil Masa’il : yaitu mempunyai ijtihad sendiri dalam beberapa masalah
cabang, bukan pada masalah pokok, seperti At Tahawi dalam mazhab Hanafi,
Al Ghazali dalam mazhab Syafi’I, Al Khiraqi dalam mazhab Hanbali.
5. Mujtahid
Muqaiyad : yaitu tidak mengeluarkan ijtihad sendiri, kecuali terhadap
masalah-masalah yang belum dibahas oleh imam mazhab sebelumnya.
Mujtahid ini mengetahui seluk-beluk dan argumen para imam mazhab, mampu
men tarjih mana yang lebih kuat dan lebih utama dari pendapat imam
mazhab yang berbeda-beda. Contohnya Al Karakhi, Al Qaduri dalam mazhab
Hanafi, Ar Rafi’ dan An Nawawi dalam mazhab Syafi’i.
B. Syarat-syarat Mujtahid
1. Akidahnya benar.
2. Bersih dari hawa nafsu.
3. Mengetahui
bahasa arab dengan segala cabangnya, seperti : nahwu (gramatika),
sharaf (konyugasi), balagah (retorika), ma’ani, bayan (kejelasan) dan
badi’ (efektifitas bicara), mengetahui irab (fungsi kata dalam kalimat),
tasrif (konyugasi), masdar (kata dasar), musytaq (bentuk kata
turunan), serta mengetahui syair-syair Arab lampau yang terkenal untuk
mengetahui arti kata-kata sulit yang jarang digunakan.
Mujahid berkata : “Tidak
diperkenankan bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir
untuk berbicara tentang Kitabullah (menafsirkan) apabila ia tidak
mengetahui berbagai dialek bahasa Arab”.
4. Memahami ilmu Al-Qur’an dan ilmu tafsir.
5. Mengetahui ilmu hadits, atsar sahabat dan tabi’in.
6. Mengetahui Ijma’ masa Khulafaur Rasyidin.
7. Mengetahui ilmu fikih dan ushul fikih.
8. Pemahaman
dan ketelitian yang cermat akan qarinah, dhalalah nash, illat hukum,
serta tujuan tasyri sehingga mampu menyimpulkan makna yang sejalan
dengan syariat.
C. Mufti dan Hakim
Mufti
adalah orang yang memberikan fatwa biasanya tentang hukum fiqih
sesuatu masalah, sedangkan hakim adalah orang yang menjatuhkan vonis
keputusan hukum terhadap suatu sengketa masalah antara dua pihak yang
bersengketa. Keduanya sama sama memutuskan hukum berdasarkan hukum
syara’.
Sedangkan perbedaan antara mufti dan hakim adalah :
1. Memberi
fatwa lebih luas lapangannya daripada menjatuhkan vonis putusan hukum.
Fatwa boleh dilakukan oleh orang merdeka, budak, pria, wanita, famili,
kerabat, orang asing. Sedangkan vonis putusan hanya diberikan oleh
orang merdeka, laki-laki, tidak ada hubungan kerabat dengan yang
bersengketa.
2. Putusan hakim mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sedangkan fatwa mufti boleh diterima boleh tidak.
3. Fatwa mufti tidak dapat membatalkan putusan hakim, sedangkan keputusan hakim dapat membatalkan fatwa mufti.
4. Mufti
tidak dapat memberi putusan kecuali mufti tersebut juga menjadi hakim
sedangkan hakim harus memberikan fatwa apabila telah menjadi suatu
keharusan.
5. Hakim
sebaiknya tidak memberikan fatwa terhadap masalah-masalah yang mungkin
muncul dalam peradilan, karena dikhawatirkan bila hakim memutuskan
putusan yang berbeda dengan fatwanya, tentunya itu akan menyulitkan.
Syuraih Al Qadhy pernah berkata :
“Saya memutuskan perkara diantara kamu bukan memberikan fatwa”.
VI. Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’
adalah mengikuti pendapat (ijtihad) orang lain dengan mengetahui
argumen, dalil-hujjahnya, sedangkan taqlid adalah mengikuti pendapat
(ijtihad) orang lain tanpa mengetahui argumen, dalil-hujjahnya.
Imam Ghazali dalam Al Mustafa mengatakan :
“Ittiba’ dalam agama disuruh, sedangkan taqlid dilarang”.
Hukum Taqlid :
a. Taqlid yang wajib : taqlid kepada Rasulullah, dalam istilah kaum salaf taqlid kepada Rasulullah disebut ittiba’.
b. Taqlid yang haram :
1. Tidak menghiraukan nash syara’ semata-mata lantaran mengikuti orang tua, moyang-leluhur.
2. Taqlid kepada seseorang yang belum muktabar diakui apakah punya kompetensi untuk meng istinbath-kan hukum fiqih.
3. Taqlid
buta karena fanatik terhadap orang tertentu walaupun ada hujjah dan
argumen yang lebih kuat yang bertentangan dengan pendapat orang
tersebut.
c. Taqlid
yang dibolehkan : mengikuti pendapat ulama mujtahid yang sudah
muktabar mempunyai kompetensi meng istinbathkan hukum fiqih, terutama
bagi orang awam yang tidak punya kemampuan mengetahui hukum hukum
syara’ secara mendalam.
Periode Taqlid :
1. Periode pertama (pasca masa Imam Mazhab, abad ke-IV H – jatuhnya Baghdad abad ke-VII H),
2. Periode kedua dari abad ke-IV H – abad ke-X H.
3. Periode ketiga dari abad ke-X H sampai masa Muhammad Abduh.
4. Periode keempat dari masa Muhammad Abduh – sekarang.
Dalam masa maraknya masa taqlid tetapi masih ada juga ulama ulama mujtahid yang tetap menghidupkan api ijtihad diantaranya :
1. Izzudin bin Abdis Salam (578-660 H).
2. Ibnu Daqiqil Ied (615-702 H).
3. Ibnu Rif’ah (645 – 710 H).
4. Ibnu Taimiyah (661-728 H).
5. Ibnu Qoyyim Al Jauziah (691-751 H).
6. An Nawawi
7. Al Bulqini (724 – 805 H).
8. Ibnu Hajar Atsqolani (773-858 H).
9. Al Asnawi (714-784 H)
10. Al Jalalul Mahalli (791-864 H).
11. Al Jalalus Suyuthi (846 –911 H).
12. Ash Shan’ani (abad XII H) pengarang Subulussalam.
13. Asy Syaukani (abad XII H) pengarang Nailul Authar.
14. Muhammad Abduh, dari Al Azhar menerbitkan tabloid Al Manar.
15. Rasyid Ridha.
VII. Ketentuan Hukum (Mahkum Bih)
A. Wajib
Yaitu pekerjaan yang bila tidak dikerjakan mendapatkan dosa.
Hukum wajib terbagi menjadi :
1. Wajib
Muthlaq = wajib yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi waktunya,
contoh : wajib membayar kafarah sumpah, tapi waktunya tidak ditentukan
oleh syara’.
2. Wajib Muwaqqat = wajib yang ditentukan waktunya, contoh shalat lima waktu, puasa ramadhan.
3. Wajib Muwassa’ = wajib yang diluaskan waktunya, contoh waktu shalat lima waktu, sholat isak dari petang sampai subuh.
4. Wajib
Mudhaiyaq = wajib yang sempit waktunya, puasa ramadhan waktu mulainya
dan berakhirnya sama yaitu dari terbit fajar sampai maghrib.
5. Wajib
Dzu Syabahain = wajib muwassa’ sekaligus mudhaiyaq, yaitu waktu
mulainya sama dengan waktu berakhirnya dan waktunya panjang, contohnya
ibadah haji.
6. Wajib ‘ain = wajib yang dibebankan kepada setiap individu, tidak dapat diwakilkan oleh atau kepada orang lain.
7. Wjib
Kifayai = wajib yang dibebankan kepada sebagian individu, bila
sebagian individu sudah menunaikan maka gugur kewajiban individu yang
lain, contoh : mengurus jenazah.
8. Wajib Muhaddad = wajib yang ditentukan kadarnya, contoh : zakat.
9. Wajib Ghairu Muhaddad = wajib yang tidak ditentukan kadarnya, contoh : sedekah, wakaf.
10. Wajib Mu’aiyin = wajib yang ditentukan zatnya , contoh : membaca Al Fatihah dalam shalat.
11. Wajib Mukhaiyar = wajib yang diberi kebebasan memilih, contoh = kafarah sumpah.
12. Wajib Muaddaa = Wajib yang ditunaikan dalam waktunya ada’an.
13. Wajib Maqdi = wajibn yang ditunaikan sesudah lewat waktunya qada’an.
14. Wajib Mu’aad = wajib yang dikerjakan mengulang karena kurang sempurnanya yang ditunaikan pertama.
B. Sunnat
Yaitu bila dikerjakan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak berdosa.
Pembagian Sunnat :
1. Sunnat Hadyin = sunnat untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban agama, contoh : azan dan jama’ah.
2. Sunnat
Zaidah = sunnat yang dikerjakan Nabi dalam urusan adat kebiasaan,
contoh : makan, minum, adat, kesukaan Nabi yang bagus bila ditiru dan
tidak dicela bila ditinggalkan.
3. Sunnat Muakkadah = sunnat yang sering dikerjakan Nabi (jarang ditinggalkan), contoh : shalat sunnat rawatib, shalat tahajud.
4. Sunnat Ghairu Muakkadah = sunnat yang kadang ditinggalkan oleh Nabi, contoh : shalat sunnat 4 rakaat sebelum duhur.
C. Mubah
Yaitu sesuatu yang dibolehkan, boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Catatan untuk perkara yang mubah :
1. Jangan berlebihan.
2. Jangan
membuat perkara baru (bid’ah) dalam agama yang tanpa ada contoh atau
tanpa ada maslahatnya dalam urusan dunia atau tidak menjadi sarana
kemaslahatan yang lain.
3. Jangan sibuk dengan perkara yang mubah sehingga melalaikan dari akhirat.
D. Makruh
Yaitu bila dikerjakan tidak dicela, tetapi bila ditinggalkan terpuji.
Pembagian Makruh :
1. Makruh
Tanzih = makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila
ditinggalkan, contoh : merokok, makan jengkol, shalat di akhir waktu.
2. Makruh Tahrim = makruh yang dekat kepada haram, yaitu haram yang dalilnya belum qath’i (pasti) yaitu dari hadits ahad.
E. Haram
Yaitu bila dikerjakan mendapat dosa, contohnya : meninggalkan shalat lima waktu, makan daging babi.
VIII. Obyek Hukum (Mahkum Fih) dan Subyek Hukum (Mahkum ‘Alaih)
Obyek
hukum dalam fiqih adalah beban pekerjaan kepada para mukallaf (orang
dewasa dan berakal sejahtera yang terkenan beban hukum) apabila memenuhi
beberapa syarat :
a. Mungkin terjadi / bukan yang mustahil terjadi.
b. Sanggup dikerjakan.
c. Dapat dibedakan.
d. Diketahui berdasarkan dalil.
e. Untuk melaksanakan taat (ibadah).
Subyek
hukum adalah para mukallaf (orang yang dibebani hukum). Seseorang
mendapat beban taklif (beban hukum) apabila memenuhi beberapa syarat :
a. Memahami perintah (beban hukum) yang dibebankan kepadanya.
b. Baligh (dewasa).
c. Berakal (sadar dan waras).
Halangan – halangan :
1. Gila
2. Setengah gila
3. Lupa
4. Tidur
5. Pingsan
6. Mabuk
7. Sakit, halangan untuk puasa, shalat dengan berdiri.
8. Haid
9. Nifas
10. Mati
11. Safar (bepergian), halangan untuk wajibnya shalat jum’at
12. Silap (tidak sengaja)
13. Paksaan
14. Hujan, halangan untuk shalat berjama’ah.
15. Tua renta pikun.
IX. Ushul Fiqih
A. Pengertian
Ushul
fiqih adalah kaidah kaidah dan metodologi dasar yang digunakan untuk
istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya yang berupa dalil-dalil
yang tafshili (jelas).
Macam-macam dalil :
A. Dalil naqli (teks) :
1. Al-Qur’an
2. Sunnah (Hadits)
B. Ijma’ (konsensus)
C. Dalil aqli (akal)
1. Qiyas
2. Istihsan
3. Maslahah Mursalah
4. Dan lain-lain.
Firman Allah dalam QS An Nisa’ [4] : 59
“Taatilah
Allah dan taatilah Rasul dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara
kamu. Maka jika kamu berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah
kepada Allah dan RasulNya.”
“Taatilah Allah” merujuk kepada Al-Qur’an.
“Taatilah Rasul “ merujuk kepada sunnah (hadits)
“dan Ulil-Amri (pemegang urusan) diantara kamu” merujuk kepada Ijma’ (konsensus) ulil-amri.
“Kembalikanlah
kepada Allah dan Rasul-Nya” merujuk kepada Qiyas, maksudnya
bandingkanlah dengan yang dekat dan serupa dengan yang telah ada pada
Al-Qur’an dan atau Hadits, pelajari qarinah (petunjuk) hikmah syariat
didalamnya, dsb.