Desain Proposal Skripsi
STUDI KOMPARATIF HUKUM MENDIRIKAN BANGUNAN DI ATAS BANTARAN SUNGAI MENURUT PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
Oleh
NUR
KAMALIAH
1001120070
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) ANTASARI
FAKULTAS SYARIAH
DAN EKONOMI ISLAM
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
BANJARMASIN
2013
OUTLINE
SEMENTARA
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
B. Rumusan
Masalah
C. Tujuan
Penelitian
D. Signifikasi
Penelitian
E. Definisi
Operasional
F. Kajian
Pustaka
G. Metode
Penelitian
H. Sistematika
Penulisan
BAB
II KONSEP- KONSEP UMUM TENTANG SUNGAI
A. Konsep
Sungai
B. Ketentuan
hukum mendirikan bangunan di
atas bantaran sungai menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif.
BAB III ANALISIS PERBANDINGAN TENTANG HUKUM MENDIRIKAN BANGUNAN
DI ATAS BANTARAN SUNGAI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A.
Persamaan dan Perbedaan dari hukum Islam dan Hukum
Positif
B.
Mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut Hukum
Islam
C.
Mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut Hukum
Positif
BAB IV PENUTUP
Simpulan
dan Saran
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Allah swt, mengutus Nabi Muhammad saw. Membawa agama
yang suci lagi penuh kelapangan serta syari’at yang lengkap dan meliputi, yang
menjamin bagi manusia kehidupan bersih lagi mulia, dan menyampaikan manusia ke puncak
ketinggian dan kesempurnaan. Salah satunya ialah menjaga kebersihan lingkungan
tempat tinggalnya masing-masing.[1]
Untuk menjamin keberlangsungan kehidupan di
alam semesta, air menempati posisi yang sangat penting. Baik dalam tinjauan
normatif maupun ilmu fisika, air adalah salah satu sub struktur inti dalam
susunan semesta. Oleh karena itu, sumber-sumber ajaran Islam yang termaktub
dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi serta hasil-hasil ijtihad ulama telah membahas
tema air dalam berbagai perspektif.
Al-Quran menyebut air dengan istilah ma’
atau al-ma’ yang berarti cairan yang berwarna bening dan tembus pandang.
Al-Quran menyebut dua kata tersebut sebanyak
60 kali dalam berbagai konteks Di samping itu, kata-kata lain yang
disebutkan Al-Quran terkait dengan makna air adalah al-matar, al-anhar, dan
al-‘uyun. Tiga suku kata
tersebut disebutkan oleh Al-Quran sebanyak 214 kali. Banyaknya penyebutan
Al-Quran terhadap “air” sebanding dengan makna air yang sangat penting bagi
kehidupan, selain sebagai isyarat keharusan memerhatikan, meneliti, dan
mengkajinya.[2]
Didalam Al-Qur’an berbagai konteks penyebutan
air dapat dikelompkkan menjadi tiga bagian: fungsi, sumber dan sirkulasi, serta
pengelompokannya.
Di antara ayat Al-Quran yang menjelaskan fungsi sentral air
bagi kehidupan adalah ayat 30 surah al-Anbiyaa’:
óOs9urr& tt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. ¨br& ÏNºuq»yJ¡¡9$# uÚöF{$#ur $tFtR%2 $Z)ø?u $yJßg»oYø)tFxÿsù ( $oYù=yèy_ur z`ÏB Ïä!$yJø9$# ¨@ä. >äóÓx« @cÓyr ( xsùr& tbqãZÏB÷sã ÇÌÉÈ
Artinya: Dan apakah orang-orang yang kafir tidak
mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang
padu, Kemudian kami pisahkan antara keduanya. dan dari air kami jadikan segala
sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?. (QS.AL-Anbiyaa:31).[3]
Ayat tersebut menjelaskan bahwa air adalah
sumber dari semua kehidupan manusia
harus bersikap positif dan bertanggung jawab untuk keberlanjutan ketersediaan
dan kebersihan air bersama sumber-sumbernya yang disediakan Allah di alam
semesta ini.[4]
Larangan Membangun Pemukiman di Sekitar Sumber Air Sebagai konsekuensi dari ajaran Islam serta
dalam rangka menjaga kebersihan
sumber air, maka diharamkan mendirikan bangunan pemukiman di sepanjang
sepadan sungai dan di dekat sumber air karena akan dapat menyebabkan pengotoran
terhadap air tersebut, terutama akibat limbah rumah tangga dan manusia. Meski
pembangunan pemukiman akan mendatangkan manfaat bagi masyarakat penghuninya,
tetapi kemanfaatan itu dapat saja tidak sebanding dengan mudarat yang akan
ditimbulkannya. Dalam kaidah fikih, kemudaratan harus dihilangkan lebih dulu
dari menarik kemanfaatan.
Firman Allah SWT, QS: Aruum: 41
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ
Artinya : Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).[5]
Larangan mengotori sumber air sungai sebagai
tempat air bersih wajib dijaga dari pencemaran, terutama dari kotoran manusia.
Oleh karena itu, diharamkan dalam fikih Islam membangun wc di atas sungai
karena akan mencemari kebersihan air sungai tersebut.
Salah seorang fuqaha Hambali mengatakan bahwa setiap
sungai harus memiliki zona bebas untuk kepentingan pemanfaatannya dan tidak
boleh dimiliki boleh dimiliki oleh siapapun.[6]
Qalyubi, ketika berbicara tentang I’tikaf menegaskan tidak sah bila
dilaksanakan di mesjid yang dibangun di bantaran sungai.[7] Sulaiman ibn Umar Muhammad al-Bujairmi
menegaskan pula bahwa kawasan bantaran sungai, demi kepentingan konservasinya,
tidak boleh didirikan bangunan, sekalipun mesjid: setiap bangunan di atasnya
harus dibongkar.[8]
Penggusuran terhadap semua bangunan yang ada di bantaran sungai, menurut
al-Haitami adalah hasil kesepakatan empat mazhab.[9]
Dalam riwayat Muslim, Rasulullah bersabda:
اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِي ظِلِّهِمْ[10]
Artinya: Takutlah kalian dari dua hal yang
mendatangkan laknat. Para sahabat bertanya: apakah dua hal yang mendatangkan
laknat tersebut?. Rasulullah menjawab: yaitu orang yang membuang hajat di jalan dan di
tempat berteduh.
Dalam hadits yang diriwayatkan dari jabir r.a:
ا ن النبي صلى ا لله عليه و سلم نهى ا ن يبا ل فى الما ء ا لر ا كد
. رواه ا حمد و مسلم و النسا ئى و ا بن ما جه
Artinya:
Bahwa Nabi saw, melarang buang air kecil pada air yang
tergenang.”
(H.R.Muslim dan Ibnu Majah)
Juga dari padanya
ا ن النبي صل ا لله عليه و سلم نهى ا ن يبا ل
فى الما ء الجا ر ي
Artinya:
Bahwa Nabi saw, melarang buang air kecil pada air yang
mengalir. “Menurut buku Majma’uz Zawaid, hadits ini diriwayatkan oleh Thabrani
dan para perawinya dapat dipercaya.[11]
Kesadaran
akan bahaya permasalahan lingkungan bagi kehidupan manusia dan makhluk lainnya
termasuk lingkungan itu sendiri. Upaya penyelamatan lingkungan global tentu saja harus
mempunyai dukungan dari semua masyarakat. Oleh karena itu, dilakukan propaganda
global guna memberdayakan masyarakat dalam penyelamtan lingkungan. Dalam
kepentingan ini masayrakat lingkungan menggali seluruh potensi masyarakat untuk
mensukseskan program dari pemerintah.[12]
Pemerintah wajib merumuskan regulasi untuk Kemaslahatan
Masyarakat termasuk Konservasi Sumber-Sumber Air dan Masyarakat Wajib mentaatinya.[13] Didalam peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 35
tahun 1991 tentang sungai pasal 24 dan
26 BAB XII Kewajiban dan Larangan, yaitu Pasal 24 Masyarakat wajib ikut serta
menjaga kelestarian rambu-rambu dan tanda-tanda pekerjaan dalam rangka
pembinaan sungai. Dan Pasal 26 Mendirikan, mengubah atau membongkar
bangunan-bangunan didalam atau melintas sungai hanya dapat dilakukan setelah memperoleh ijin dari
Pejabat yang berwenang.[14]
Menurut UU Nomor
32 Tahun 2009 Republik Indonesia, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Bab 1 ketentuan Umum pasal 1(1) Lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan
perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Pasal 1 (2)
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan
penegakan hukum.[15]
Ketentuan pidana berdasarkan undang-undang Nomor 11 tahun 1974 pasal
15 dan peraturan perundang-undangan lainnya :
a.
barang siapa untuk keperluan usahanya melakukan, pembangunan bangunan sungai
tanpa ijin sebagaimana, diatur dalam Pasal 12 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (3);
b.
barang siapa melakukan pengusahaan sungai dan bangunan sungai tanpa ijin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
c.
barang siapa mengubah aliran sungai, mendirikan, mengubah atau membongkar
bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai, mengambil dan menggunakan air sungai
untuk keperluan usahanya yang bersifat komersial tanpa ijin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 dan Pasal 28;
d.
barang siapa membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun
berupa limbah kedalam maupun sekitar
sungai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
Topik tentang bantaran sungai adalah hal yang
sangat menarik untuk dibahas, khususnya bagi masyarakat yang hidup dalam
lingkungan alam perairan, seperti Kalimantan Selatan khususnya kota
Banjarmasin. Bantaran sungai hanyalah sebagian kecil dari masalah kehidupan
masyarakat dalam lingkungan berair. Masalah yang lebih besar adalah bagaimana
mendorong masyarakat agar menjaga sumber-sumber air, termasuk sungai.[16]
Menurut
penulis permasalahan tentang bantaran sungai ini bukanlah masalah yang ringan.
Bantaran sungai itu tidaklah sebatas jalur
tanah pada kanan dan kiri sungai (antara sungai
dan tanggul) dan disana ada zona-zona yang dilarang untuk mendirikan bangunan
tersebut. Maka di dalam fikih Islam dan di dalam hukum positif haram hukumnya mendirikan
bangunan tersebut, baik itu pemukiman masyarakat, maupun mesjid. Karena
mendirikan bangunan di kawasan tersebut, maka akan mencemari lingkungan dan
banyak membawa kepada mudharatnya dari pada manfaatnya itu sendiri.
Dari masalah
di atas penulis tertarik untuk meneliti masalah bantaran sungai ini dengan
judul “Studi Komparatif Hukum Mendirikan Bangunan di atas Bantaran Sungai
Menurut Persektif Hukum Islam dan Hukum Positif “
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
Latar Belakang Masalah tersebut diatas, maka pokok permasalahan dalam
penelitian ini, yaitu:
1. Apa hukum mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut hukum Islam ?
2. Apa hukum mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut hukum positif ?
3.
Bagaimana
persamaan dan perbedaan antara ketentuan kedua hukum
tersebut?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini di lakukan dengan tujuan:
1. Untuk mengetahui apa saja hukum mendirikan bangunan di atas bantaran
sungai menurut hukum Islam ?
2. Untuk mengetahui apa saja hukum mendirikan bangunan di atas bantaran
sungai menurut hukum positif ?
3.
Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
antara ketentuan kedua hukum tersebut?
D.
Signifikasi Penelitian
Hasil penelitian ini di harapkan akan lebih mempunyai manfaat
sebagai berikut :
1.
Sebagai
bahan informasi ilmiah dan sumbangan pemikiran serta bahan pertimbangan bagi
masyarakat yang akan mendirikan bangunan di atas bantaran sungai, dengan
harapan meningkatkan dan mengembangkan kearah yang lebih baik.
2.
Bahan masukan bagi pemerintah pusat dan
pemerintah daerah agar dapat menegakkan peraturan perundang-undangan di sekitar
sungai dengan sebaik-baiknya, agar keberdayaan, kegunaan dan kelestarian sungai
dan lingkungan hidup pada umumnya dapat terjaga.
3.
Sebagai
bahan informasi dan perbandingan bagi
yang melakukan penelitian lebih lanjut, tentunya dengan masalah yang berbeda.
4.
Untuk
menambah ilmu dan pengalaman penulis yang berkenaan dengan hukum mendirikan
bangunan di atas bantaran sungai menurut perspektif hukum
Islam dengan hukum positif.
5.
Sebagai
bahan bacaan khazanah
perpustakaan IAIN Antasari Banjarmasin.
E.
Definisi Operasional
Untuk
memperjelas maksud dari judul di atas dan menghindari kesalah pahaman dan
kekeliruan dalam memahaminya, maka penulis perlu mengemukakan definisi
operasional yaitu sebagai berikut:
3.
Bantaran
adalah jalur tanah pada kanan dan kiri sungai (antara sungai
dan tanggul).[19] Dan di dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1991 BAB 1 Ketentuan Umum, bagian
pertama pasal 1(5) tentang sungai.[20]
4.
Sungai
adalah aliran air yang besar
(biasanya buatan alam) bukan buatan manusia.[21] Dan di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 1991
BAB 1 Ketentuan Umum, bagian pertama pasal 1(1) tentang sungai.[22]
5. Hukum Islam adalah seluruh peraturan dan tata cara kehidupan dalam Islam
yang diperintahkan oleh Allah SWT yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. pendapat para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, ushul fikih,
fatwa maupun hasil putusan organisasi-organisasi ulama dan keislaman seperti
MUI, NU, Muhammadiyah, dll
6. Hukum Positif adalah adalah produk peraturan perundang-undangan dalam berbagai tingkatannya,
baik berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan yang
berkaitan dengan objek penelitian. Di dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Republik
Indonesia tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ban 1
ketentuan umum pasal 1(1), dan pasal 1 (2).[23]
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul di atas
adalah meneliti perbedaan dan persamaan antara kedua hukum tersebut yaitu antara
hukum Islam dan hukum Positif tentang hukum mendirikan bangunan di atas
bantaran sungai.
F.
Kajian Pustaka
Buku-buku atau bahan
pustaka yang mengupas masalah sungai dan lingkungan hidup pada umumnya, masih
relatif langka. Namun dari penjajakan awal, terdapat beberapa bahan pustaka
yang relevan sebagai bahan rujukan proposal judul ini, di antaranya:
Makalah
seminar dalam tema “ Bantaran Sungai dalam Perspektif Ajaran Islam” oleh Dr. Sukarni, M.A.g dekan fakultas syariah IAIN Antasari
Banjarmasin. Mengatakan bahwa mendirikan bangunan di atas bantaran sungai itu hukumnya
haram, karena akan mengakibatkan pengotoran terhadap air tersebut, terutama
limbah rumah tangga dan manusia. Menurut penulis dari makalah seminar ini tidak
membandingkan dengan hukum positif.
Jurnal Ilmu Hukum Volume 2, Nomor 2, Desember 2012. Tentang “Sanksi Terhadap
Pengrusakan Lingkungan hidup dalam Perspektif Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif” oleh
Hj.Nurwahidah. Mengatakan bahwa sanksi pengrusakan lingkungan hidup ada di
dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Hukum pidana Islam
memberlakukan hukum ta’zir bagi perusak lingkungan , yang jenis dan besarnya
hukuman tergantung hakim yang memutuskannya. Hukum ta’zir memang kurang tegas.
Sedangkan di dalam hukum positif cukup tegas mengatur sanksi bagi pengrusakan
lingkungan hidup, yaitu sanksi administratif, pidana, perdata, dan refresif,
tetapi hukum positif mempunyai kelemahan dari sisi penegakkan hukum di
lapangan. Menurut penulis bahwa belum membahas di dalam hukum Islam.
Beberapa produk perundang-undangan yang
terkait dengan sungai, di antaranya Peraturan
Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Republik Indonesia, Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bab 1 ketentuan Umum pasal 1(1)
, Undang-undang
(UU) Nomor 11 Tahun1974 tentang pengairan, Undang-undang Nomor 4 tahun 1982
tentang ketentuan-ketentuan pokok pengturan lingkungan hidup, Ketentuan pidana berdasarkan pasal 15 undang-undang Nomor 11 tahun
1974 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut penulis dari hasil penelitiannnya menyatakan bahwa, baik di dalam
hukum Islam maupun hukum positif bahwa mendirikan bangunan di atas bantaran
sungai itu dilarang, bagaimanapun bentuk bangunan itu tetap haram hukumnya karena
banyak membawa mudaratnya dari pada manfaatnya. Dan apabila melanggar di dalam
hukum Islam dikenakan ta’zir, sedangkan didalam hukum positif maka akan
dikenakan sanksi administratif, pidana, perdata, dan refresif.
G.
Metode Penelitian
1.
Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis
penelitian yang di gunakan adalah penelitian kepustakaan (library research)
yaitu dengan mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang berhubungan dengan
masalah hukum mendirikan bangunan diatas bantaran sungai menurut perspektif hukum
Islam dan hukum positif bantarn sungai. Adapun sifat penelitian ini adalah studi
komperatif.
2. Bahan dan Sumber Hukum
a) Bahan Hukum
Data yang di gali dalam penelitian ini adalah :
1) Hukum mendirikan bangunan di atas bantaran sungai, yang meliputi: hukum
Islam dan hukum Positif.
2) Konsep umum tentang sungai yang meliputi: Konsep sungai (Wilayah sungai,
beberapa fungsi sungai, urgensi-urgensi sebagai sumber air bersih), ketentuan
hukum mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut perspektif hukum
Islam dan hukum Positif, menurut hukum positif (UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Daerah, dll), meneurut hukum Islam ( pembahasan sungai dalam Al-Qur’an, dan
pembahasan sungai dalam hadits).
3) Ada tidaknya Persamaan dan perbedaan kedua hukum tersebut, yaitu Hukum
Islam dan Hukum Positif tentang hukum mendirikan banginan di atas bantaran
sungai.
a) Sumber Hukum
Kajian ini merupakan kajian penelusuran kepustakaan. Untuk itu penyusun menggunakan 2 sumber
hukum, yang mana kedua sumber digunakan sebagai rujukan dari penelitian.
1) Sumber Hukum Primer
Yaitu data pokok yang digunakan penyusun untuk
dijadikan kajian dalam proposal judul ini, yang mana penyusun menggunakan
rujukan :
-
Yusuf Qardawi, Diaayatulbaiah Fii Syrai’atil
Islam, Darul Syuruk, 1421H/2001M
-
Abi al-Husain Muslim ibn al-Hajjaj Qusyairi
An-Naisaaburiyi, juz 1 Shahih Muslim.1414 H/1993 M
-
Imam
Ahmad ibn Hambal, Al-Musnad, juz 2, 1414 H/1994M
-
Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 1991 tentang sungai, pasal 24 dan 26 BAB XII
Kewajiban dan Larangan.
-
Undang-undang Nomor 11 Tahun1974 tentang
pengairan dan Ketentuan pidana berdasarkan pasal
15.
2)
Sumber Hukum Sekunder
-
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Republik
Indonesia tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bab 1
ketentuan umum pasal 1 (1) dan pasal 1(2)..
-
Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 tentang
ketentuan-ketentuan pokok pengturan lingkungan hidup.
-
Jurnal Ilmu Hukum Volume 2, Nomor 2, Desember 2012. oleh Hj.Nurwahidah tentang
“Sanksi Terhadap Pengrusakan Lingkungan hidup dalam Perspektif Hukum Pidana
Islam dan Hukum Positif”
-
Jurnal Kebudayaan, Antasari UIN tentang
“Sungai, Fondasi Kehidupan Masyarakat Kalimantan”
-
Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah 1
-
Fikih lingkungan hidup oleh Ali Yafie tentang
“Merintis Fikih Lingkungan Hidup”
-
Fikih lingkungan Hidup oleh Dr. Sukarni.M.A.g
“Perspektif Ulama Kalimantan Selatan”
-
Fikih Lingkungan oleh Prof. Dr. Muljiono Abdillah, M.A tentang
“ Panduan Spritual Hidup Berwawasan Lingkungan”
-
Makalah seminar Dr.Sukarni,M.Ag dengan tema
“BantaranSungai dalam Perspektif Ajaran Islam”
-
Media online seperti internet.
3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mengumpulkan data, di gunakan teknik
berikut:
a. Survey kepustakaan, yaitu dengan melakukan observasi di perpustakaan untuk
mengumpulkan sejumlah buku-buku dan kitab yang diperlukan yang berkaitan dengan
penyusunan penelitian ini. Adapun yang menjadi tempat survey adalah
perpustakaan IAIN Antasari Banjarmasin.
b. Studi komparatif, yaitu dengan melakukan penelaahan dan pengkajian secara
mendalam terhadap perbandingan-perbandingan hukum yang telah diperoleh,
sehingga diperoleh data yang diperlukan.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1) Teknik Pengolahan
Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan
dengan menggunakan beberapa tahapan antara lain:
a) Editing (seleksi data), yaitu data yang diperoleh di cek kembali kelengkapnnya,
sehingga diketahui apakah data-data yang didapat dimasukkan atau tidak dalam
proses selanjutnya.
b) Kategorisasi, yaitu dengan melakukan pengelompokkan data yang diperoleh berdasarkan
permasalahannya, sehingga tersusun sistematis.
c) Interprestasi, yaitu dengan memberikan penafsiran seperlunya terhadap data yang dirasakan
kurang jelas, sehingga lebih mudah dimengertikan.
2) Analisis Data
Analisis yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah analisis kualitatif komparatif, yaitu dengan melakukan penelaahan
secara mendalam terhadap data yang diperoleh dengan jalan memperbandingkannya,
sehingga dapat ditarik kesimpulannya.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan
sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan terdiri dari latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikasi penelitian, definisi
operasional, kajian pustaka, metode penelitian, sistematika penulisan.
Bab II
Konsep umum tentang sungai menguraikan
tentang konsep sungai (wilayah sungai, beberapa fungsi sungai, urgensi-urgensi
sebagai sumber air bersih), ketentuan hukum mendirikan bangunan di atas
bantaran sungai menurut perspektif hukum Islam dan hukum positif, menurut hukum
positif (UU,Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah), menurut hukum Islam (pembahasan
sungai dalam Al-Qur’an, dan pembahasan sungai dalam hadits)
BAB III Analisis Hukum mendirikan bangunan di
Atas Bantaran Sungai, menguraikan kewajiban memelihara lingkungan hidup, hukum
mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut Hukum Islam, hukum
mendirikan bangunan di atas bantaran sungai menurut Hukum Positif, persamaan
dan perbedaan Hukum Islam dan Hukum Positif mengenai mendirikan bangunan di
atas bantaran sungai.
Bab IV Penutup yang terdiri dari Simpulan dan
Saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA SEMENTARA
Abdillah Mujiyono. 2005. Panduan Spiritual Hidup Berwawasan Lingkungan,
Semarang, UPP AMP YKPN.
Al-Hajjaj Qusyairi An-Naisaaburiyi, Abi al-Husain Muslim ibn. 1414 H/1993 M. Shahih Muslim juz 1.
Ibnu Hambal, Imam Ahmad ibn. 1414 H/1994. Al-Musnad, juz 2.
Kuin Anatasri. Jurnal
Kebudayaan Kandil. 2005. Sungai,
Fondasi Kehidupan Masyarakat Kalimantan Tempo Dulu, Edisi
9 Tahun III.
Qardawi
Yusuf. 1421H/2001M. Diaayatulbaiah Fii Syrai’atil Islam, Darul Syuruk.
Sabiq Sayyid.1973. Fikih Sunnah 1, Bandung, PT: Alma’arif.
Sukarni. 2011. Perspektif Ulama
Kalimantan Selatan, Jakarta, Kementrian Agama RI.
______, 2012. Makalah Seminar dalam tema. Bantaran Sungai dalam
Perspektif Ajaran Islam, Kota Banjarmasin bekerjasama dengan
Pengelolaan Sungai dan Drainase Kota Banjarmasin.
Yafie Ali. 2006. Merintis Fikih Lingkungan Hidup, Cahaya Insan Suci
[1]
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 1. Bandung 1973, hlm.7
[2]
Dr. Sukarni, M.Ag. Makalah Seminar
dalam tema “Bantaran Sungai dalam Perspektif Islam dan Perundang-undangan” hlm.
2
[3]
Depertemen Agama RI “Al-Qur’an dan Tafsirnya” jilid 1 juz 1-3. Jakarta 2004
M/1425 H.
[4]. Dr. Sukarni, M.Ag, 0p.cit.hlm 1-3
[5] Depertemen Agama RI “Al-Qur’an dan
Tafsirnya” jilid 1 juz 1-3. Jakarta 2004 M/1425 H. hlm.
[6] Dr. Sukarni, M.Ag. op.cit hlm.
10 dan lihat juga Lihat
Ibnu Qudamah, Al-Mugni Juz VIII (Al-Qahirah:
H}ijr, 1992), hlm. 170 – 171.
[8] Dr. Sukarni, M.Ag, op.cit hlm.10
dan lihat juga Lihat Sulaiman ibn Umar ibn Muh}ammad al-Bujairmi, Hasyiyah
al-Bujairmi ‘ala Syarh Minhaj at-Tullab Juz III (Beirut: Dar
al-Fikr, t.t.), hlm. 190.
[11]
Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah 1.
Bandung 1973, hlm.67
[12]
Prof. Dr. Mujiyono Abdillah, M.A “Fikih Lingkungan” Panduan Spiritual Hidup
Berwawawsan Lingkungan. Hlm.50
[14]http://pslh.ugm.ac.id/home/data/PP/PP%20No.%2035%20thn%201991%20ttg%20Sungai.pdf. Di akses pada tanggal. 18 Juli 2013 jam 09.30
WITA
[15] http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/PenjelasanUU32-2009.pdf. Di akses pada tanggal. 18 Juli 2013 jam 09.30 WITA
[16] Dr. Sukarni, M.Ag, op.cit. hlm
1
[17]
Kamus
besar bahasa Indonesia. Edisi kedua. Depertemen pendidikan . hlm.965
[18] http://kamusbahasaindonesia.org/komparatif. di
akses pada tanggal 1 Agustus 2013 jam 10.30 WITA
[19] http://kamusbahasaindonesia.org/bantaran#ixzz2ZpxYmzWL di akses pada tanggal 1 Agustus 2013 jam
10.30 WITA.
[20]http://pslh.ugm.ac.id/home/data/PP/PP%20No.%2035%20thn%201991%20ttg%20Sungai.pdf. Di akses pada tanggal. 18 Juli 2013 jam 09.30
WITA
[22]http://pslh.ugm.ac.id/home/data/PP/PP%20No.%2035%20thn%201991%20ttg%20Sungai.pdf. Di akses pada tanggal. 18 Juli 2013 jam 09.30
WITA
[23] http://www.menlh.go.id/Peraturan/UU/PenjelasanUU32-2009.pdf. Di akses pada tanggal. 18 Juli 2013 jam 09.30 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar