Dzikir bersama-sama dengan suara keras
sesudah shalat hukumnya sunat, karena dengan dzikir bersama ini hati menjadi
lebih bersemangat, dan menjadi tentram.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas –radhiyallahu
'anhuma--, beliau berkata: "Sesungguhnya mengeraskan suara ketika
berdzikir setelah selesai shalat maktubah terjadi pada masa Nabi –shallallahu
'alayhi wa sallam—".[1]
Beliau juga berkata: "Aku
mengetahui shalat Nabi –shallallahu 'alayhi wa sallam—telah selesai
dengan takbir"[2]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani –rahimahullah—dalam
Fathul Bari; 2/325 mengatakan bahwa dalam hadits di atas terdapat dalil
diperbolehkannya mengeraskan suara saat dzikir sesudah shalat.
Orang yang tidak sependapat dengan
pendapat ini tidak perlu diperhatikan, meskipun mereka berhujjah dengan hadits:
أربعوا على
أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائب – الحديث
Disebabkan hadits ini turun dalam
masalah larangan mengeraskan suara dzikir di jalan di tengan perjalanan.
Sedangkan hadits Ibnu Abbas di atas khusus menjelaskan dzikir sesudah shalat.
Perbedaan sangat jelas.
Kalaupun mereka berhujah dengan
pendapat ulama, maka sesungguhnya Al-Imam As-Syafi'i berkata: "Jika hadits
itu shahih, maka itu adalah madzhabku", dan seperti yang dijelaskan di
atas bahwa hadits mengeraskan dzikir adalah hadits shahih terdapat dalam
shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Al-Imam Ibnu Taimiyah Al-Harrani dalam
Al-Fatawa Al-Kubra; 5/38 mengatakan: "Membaca idarah adalah baik menurut
mayoritas ulama. Diantara membaca idarah ialah membaca bersama-sama dengan satu
suara".
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam I'lam
al-Muwaqi'in; 2/289 mengatakan: "diataranya adalah ketetapan nabi –shallallahu
'alayhi wa sallam— terhadap masalah mengeraskan suara dzikir setelah salam,
sekira orang yang di luar masjid dengan suara itu dapat mengetahui selesainya
shalat dan Nabi tidak mengingkarinya".
Diantara hadits-hadits lain yang
menunjukkan sunatnya berdzikir bersama-sama dengan suara keras adalah:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu
anhu—ia berkata, sesungguhnya Rasulullah –shallallahu 'alayhi wa sallam—bersabda:
أنا عند ظن عبدي
بي ، وأنا معه إذا ذكرني ، فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ، وإن ذكرني في ملأ
ذكره في ملأ خير منهم[3]
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar (Fathul
Bari; 13/387), berdasarkan jawaban sebagian ahlussunnah bahwa yang dimaksud al-mala'
(golongan) yang lebih baik dari pada golongan orang yang berdzikir ialah para
nabi dan para syuhada, dimana mereka hidup di sisi Tuhan mereka. Dan dzikir
dalam al-mala' dilakukan dengan suara keras.
Dari Abdullah bin Zubair –radhiyallahu
anhuma—ia berkata bahwa ketika Rasulullah –shallallahu 'alayhi wa sallam—
salam dari shalatnya ia berkata dengan suara tinggi:
لا إله إلا الله
وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو علي كل شيء قدير ، ولا حول ولا قوة إلا
بالله ، ولا نعبد إلا إياه له النعمة ، وله الفضل ، وله الثناء الحسن لا إله إلا
الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون.[4]
Adapun hadits:
لا يشوش قارئكم
على مصليكم
"pembaca
kalian jangan sampai membuat bingun orang yang shalat"
adalah hadits maudlu' dan tidak
bersanad. Dalam Kasyful Khafa' (2/527 nomor: 3149) disebutkan bahwa An-Najm
berkata; "tidak diketahui dengan lafadz tersebut".
Dalam masalah ini Syaikh Sulaiman bin
Sahman An-Najdi al-Hanbali (w: 1348 H) dalam kitab "Tahqiq al-Kalam fi
masyru'iyah al-jahr bidz dzikr ba'das salam", hal. 48 mengatakan.
"hadits shahih tentang sunatnya mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat
fardlu tidak membuat bingung orang lain. Sebaliknya orang yang mengatakan bahwa
dzikir ini membuat bingung orang lain, bahkan terbilang sebagai perkara yang
paling batil dan paling munkar".
Dari hadits-hadits dan penjelas ulama
di atas dapat diketahui bahwa dzikir bersama-sama dengan suara keras sesudah
shalat adalah sunnat, tidak makruh jauh dari sebutan bid'ah. Wallahu A'lam.
Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap
saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan
oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara
makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan,
karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan
total kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati,
jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir
dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan,
masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih
khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain
akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau
berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan
dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an.
Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara
yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan
berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir
dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang
tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan
doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir
dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh
mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan
bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk
berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak
bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni
disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat
Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan
berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan
hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah
SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan
suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan
itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang
mencari ketenangan." Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir
secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda,
"Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah
sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan
kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ
بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ
وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ
حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ.
وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ
وَلِأَنَّفَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ
قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ
إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"
“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits
yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan
memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama
sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang
tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan
manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin
mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati
dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta
menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara
keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam
kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka
mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan
ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk
mengeraskan dzikir.
Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya
mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang
lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat
muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu
kenyamanan dan ketenangan masyarakat.[5]
[1] . Diriwayatkan
Oleh Al-Bukhari; 2/324 (Hamisy kitab Fathul Bari). Muslim meriwayatkannya dalam
Shahihnya; 1/410.
[2] . Diriwayatkan
Al-Bukhari; 2/325 dan Muslim; 1/410
[3] . HR.
Al-Bukhari; 13/384 dan Muslim; 4/2068
[4]
. HR. Imam Syaf'i dalam Al-Um (1/110), Al-Baihaqi dalam Ma'rifah
as-sunan wal Atsar (3/106), Al-Baghawi dalm Syarh As-Sunnah (3/226). Dalam
Shahih Muslim (1/415 nomor 594) tanpa menyebutkan lafadz "bi shautihil
a'la/dengan suara tinggi", namun bisa dimaknai demikian, sebab Abdullah
bin Zubair ketika itu bersama dengan anak-anak kecil di shaf terakhir.
Bagaimana ia bisa mendengar ucapan nabi kalau nabi tidak membacanya dengan
suara keras.
[5] . http://www.as-salafiyyah.com/2010/09/masalah-berdzikir-dengan-pengeras-suara.html
diakses pada hari rabu tanggal 08-mei-2013 jam 11:31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar