Tulisan Berjalan

SELAMAT DATANG DI BLOG IBNU IMBRAN

Minggu, 15 Desember 2013

dalil dzikir



Dzikir bersama-sama dengan suara keras sesudah shalat hukumnya sunat, karena dengan dzikir bersama ini hati menjadi lebih bersemangat, dan menjadi tentram.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas –radhiyallahu 'anhuma--, beliau berkata: "Sesungguhnya mengeraskan suara ketika berdzikir setelah selesai shalat maktubah terjadi pada masa Nabi –shallallahu 'alayhi wa sallam—".[1]
Beliau juga berkata: "Aku mengetahui shalat Nabi –shallallahu 'alayhi wa sallam—telah selesai dengan takbir"[2]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-'Asqalani –rahimahullah—dalam Fathul Bari; 2/325 mengatakan bahwa dalam hadits di atas terdapat dalil diperbolehkannya mengeraskan suara saat dzikir sesudah shalat.
Orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini tidak perlu diperhatikan, meskipun mereka berhujjah dengan hadits:

أربعوا على أنفسكم فإنكم لا تدعون أصم ولا غائب – الحديث
Disebabkan hadits ini turun dalam masalah larangan mengeraskan suara dzikir di jalan di tengan perjalanan. Sedangkan hadits Ibnu Abbas di atas khusus menjelaskan dzikir sesudah shalat. Perbedaan sangat jelas.
Kalaupun mereka berhujah dengan pendapat ulama, maka sesungguhnya Al-Imam As-Syafi'i berkata: "Jika hadits itu shahih, maka itu adalah madzhabku", dan seperti yang dijelaskan di atas bahwa hadits mengeraskan dzikir adalah hadits shahih terdapat dalam shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Al-Imam Ibnu Taimiyah Al-Harrani dalam Al-Fatawa Al-Kubra; 5/38 mengatakan: "Membaca idarah adalah baik menurut mayoritas ulama. Diantara membaca idarah ialah membaca bersama-sama dengan satu suara".
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam I'lam al-Muwaqi'in; 2/289 mengatakan: "diataranya adalah ketetapan nabi –shallallahu 'alayhi wa sallam— terhadap masalah mengeraskan suara dzikir setelah salam, sekira orang yang di luar masjid dengan suara itu dapat mengetahui selesainya shalat dan Nabi tidak mengingkarinya".
Diantara hadits-hadits lain yang menunjukkan sunatnya berdzikir bersama-sama dengan suara keras adalah:
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu anhu—ia berkata, sesungguhnya Rasulullah –shallallahu 'alayhi wa sallam—bersabda:
أنا عند ظن عبدي بي ، وأنا معه إذا ذكرني ، فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ، وإن ذكرني في ملأ ذكره في ملأ خير منهم[3]
Menurut Al-Hafidz Ibnu Hajar (Fathul Bari; 13/387), berdasarkan jawaban sebagian ahlussunnah bahwa yang dimaksud al-mala' (golongan) yang lebih baik dari pada golongan orang yang berdzikir ialah para nabi dan para syuhada, dimana mereka hidup di sisi Tuhan mereka. Dan dzikir dalam al-mala' dilakukan dengan suara keras.
Dari Abdullah bin Zubair –radhiyallahu anhuma—ia berkata bahwa ketika Rasulullah –shallallahu 'alayhi wa sallam— salam dari shalatnya ia berkata dengan suara tinggi:
لا إله إلا الله وحده لا شريك له له الملك وله الحمد وهو علي كل شيء قدير ، ولا حول ولا قوة إلا بالله ، ولا نعبد إلا إياه له النعمة ، وله الفضل ، وله الثناء الحسن لا إله إلا الله مخلصين له الدين ولو كره الكافرون.[4]
Adapun hadits:
لا يشوش قارئكم على مصليكم

"pembaca kalian jangan sampai membuat bingun orang yang shalat"
adalah hadits maudlu' dan tidak bersanad. Dalam Kasyful Khafa' (2/527 nomor: 3149) disebutkan bahwa An-Najm berkata; "tidak diketahui dengan lafadz tersebut".
Dalam masalah ini Syaikh Sulaiman bin Sahman An-Najdi al-Hanbali (w: 1348 H) dalam kitab "Tahqiq al-Kalam fi masyru'iyah al-jahr bidz dzikr ba'das salam", hal. 48 mengatakan. "hadits shahih tentang sunatnya mengeraskan bacaan dzikir sesudah shalat fardlu tidak membuat bingung orang lain. Sebaliknya orang yang mengatakan bahwa dzikir ini membuat bingung orang lain, bahkan terbilang sebagai perkara yang paling batil dan paling munkar".
Dari hadits-hadits dan penjelas ulama di atas dapat diketahui bahwa dzikir bersama-sama dengan suara keras sesudah shalat adalah sunnat, tidak makruh jauh dari sebutan bid'ah. Wallahu A'lam.

Dzikir adalah perintah Allah SWT yang harus kita laksanakan setiap saat, dimanapun dan kapanpun. Allah selalu mendengar apapun yang kita ucapkan oleh mulut atau hati kita. Dzikir merupakan salah satu sarana komunikasi antara makhluk dengan khaliqnya. Dengan berdzikir seseorang dapat meraih ketenangan, karena pada saat berdzikir ia telah menemukan tempat berlindung dan kepasrahan total kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, dzikir harus dilaksanakan dengan sepenuh hati, jiwa yang tulus, dan hati yang khusyu' penuh khidmat. Untuk bisa berdzikir dengan hati yang khusyu' itu diperlukan perjuangan yang tidak ringan, masing-masing orang memiliki cara tersendiri. Bisa jadi satu orang lebih khusyu' kalau berdzikir dengan cara duduk menghadap kiblat, sementara yang lain akan lebih khusyu' dan khidmat jika wirid dzikir dengan cara berdiri atau berjalan, ada pula dengan cara mengeraskan dzikir atau dengan cara dzikir pelan dan hampir tidak bersuara untuk mendatangkan konsentrasi dan ke-khusyu'-an. Maka cara dzikir yang lebih utama adalah melakukan dzikir pada suasana dan cara yang dapat medatangkan ke-khusyu’-an.
Imam Zainuddin al-Malibari menegaskan: “Disunnahkan berzikir dan berdoa secara pelan seusai shalat. Maksudnya, hukumnya sunnah membaca dzikir dan doa secara pelan bagi orang yang shalat sendirian, berjema’ah, imam yang tidak bermaksud mengajarkannya dan tidak bermaksud pula untuk memperdengarkan doanya supaya diamini mereka." (Fathul Mu’in: 24). Berarti kalau berdzikir dan berdoa untuk mengajar dan membimbing jama’ah maka hukumnya boleh mengeraskan suara dzikir dan doa.
Memang ada banyak hadits yang menjelaskan keutamaan mengeraskan bacaan dzikir, sebagaimana juga banyak sabda Nabi SAW yang menganjurkan untuk berdzikir dengan suara yang pelan. Namun sebenarnya hadits itu tidak bertentangan, karena masing-masing memiliki tempatnya sendiri-sendiri. Yakni disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Contoh hadits yang menganjurkan untuk mengeraskan dzikir riwayat Ibnu Abbas berikut ini: "Aku mengetahui dan mendengarnya (berdzikir dan berdoa dengan suara keras) apabila mereka selesai melaksanakan shalat dan hendak meninggalkan masjid.” (HR Bukhari dan Muslim)
Ibnu Adra’ berkata: "Pernah Saya berjalan bersama Rasulullah SAW lalu bertemu dengan seorang laki-laki di Masjid yang sedang mengeraskan suaranya untuk berdzikir. Saya berkata, wahai Rasulullah mungkin dia (melakukan itu) dalam keadaan riya'. Rasulullah SAW menjawab: "Tidak, tapi dia sedang mencari ketenangan." Hadits lainnya justru menjelaskan keutamaan berdzikir secara pelan. Sa'd bin Malik meriwayatkan Rasulullah saw bersabda, "Keutamaan dzikir adalah yang pelan (sirr), dan sebaik rizki adalah sesuatu yang mencukupi." Bagaimana menyikapi dua hadits yang seakan-akan kontradiktif itu. berikut penjelasan Imam Nawawi:
وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الأَحَادِيْثِ الوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِيْ اسْتِحْبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّياَءَ أَوْتَأَذَّى المُصَلُّوْنَ أَوْالنَّائِمُوْنَ. وَالجَهْرُ أَفْضَلُ فِيْ غَيْرِ ذَالِكَ لِأَنَّ العَمَلَ فِيْهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَّفَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِيْنَ وَلِأَنَّهُ يُوْقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيُصَرِّفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيُطَرِّدُ النَّوْمَ"
“Imam Nawawi menkompromikan (al jam’u wat taufiq) antara dua hadits yang mensunnahkan mengeraskan suara dzikir dan hadist yang mensunnahkan memelankan suara dzikir tersebut, bahwa memelankan dzikir itu lebih utama sekiranya ada kekhawatiran akan riya', mengganggu orang yang shalat atau orang tidur, dan mengeraskan dzikir lebih utama jika lebih banyak mendatangkan manfaat seperti agar kumandang dzikir itu bisa sampai kepada orang yang ingin mendengar, dapat mengingatkan hati orang yang lalai, terus merenungkan dan menghayati dzikir, mengkonsentrasikan pendengaran jama’ah, menghilangkan ngantuk serta menambah semangat." (Ruhul Bayan, Juz III: h. 306).
Kesimpulannya, bahwa dzikir itu tidak mesti harus dengan suara keras atau pelan tetapi tergantung kepada situasi dan kondisi; jika dalam kondisi ingin mengajarkan, membimbing dan menambah ke-khusyu’-an maka mengeraskan suara dzikir itu hukumnya sunnah dan tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan dalam beberapa keadaan sangat dianjurkan untuk mengeraskan dzikir.
Namun disunnahkan memelankan suara dzikir jika sekiranya mengeraskan suara dzikir dapat menggangu ke-khusyu’-an diri sendiri dan orang lain, mengganggu orang orang tidur dan menyebabkan hati riya’. Bagi kita umat muslim hendaklah menghindari mengeraskan suara dzikir yang dapat mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat.[5]


[1] . Diriwayatkan Oleh Al-Bukhari; 2/324 (Hamisy kitab Fathul Bari). Muslim meriwayatkannya dalam Shahihnya; 1/410.
[2] . Diriwayatkan Al-Bukhari; 2/325 dan Muslim; 1/410
[3] . HR. Al-Bukhari; 13/384 dan Muslim; 4/2068
[4] . HR. Imam Syaf'i dalam Al-Um (1/110), Al-Baihaqi dalam Ma'rifah as-sunan wal Atsar (3/106), Al-Baghawi dalm Syarh As-Sunnah (3/226). Dalam Shahih Muslim (1/415 nomor 594) tanpa menyebutkan lafadz "bi shautihil a'la/dengan suara tinggi", namun bisa dimaknai demikian, sebab Abdullah bin Zubair ketika itu bersama dengan anak-anak kecil di shaf terakhir. Bagaimana ia bisa mendengar ucapan nabi kalau nabi tidak membacanya dengan suara keras.
[5] . http://www.as-salafiyyah.com/2010/09/masalah-berdzikir-dengan-pengeras-suara.html diakses pada hari rabu tanggal 08-mei-2013 jam 11:31

Tidak ada komentar: