TAFSIR AYAT-AYAT RIBA
(APLIKASI TAFSIR EKONOMI AL-QUR’AN)
Oleh : Muhammad Abdul Rosid
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan sumber penggalian
dan pengembangan ajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Untuk
melakukan penggalian dan pengembangan pemahaman Ayat-ayat Al-Qur’an ..
kemampuan tertentu guna mengasilakan pemahaman yang baik mengenai berbagai
perilaku kehidupan manusai, termasuk dalam bidang ekonomi.Pengembangan ilmu
ekonomi Qur’an pada dasarnya mempunyai peluang yang sama dengan pengembangan
ilmu-ilmu lain dalam tradisi keilmuan Islam. sayang, sebagai suatu disiplin
ilmu, ilmu ekonomi Qur’an belum berkembang pesat. padahal kebutuhan terhadap
ilmu ini dirasakan sudah mendesak, sehubungan kegagalan ilmu ekonomi modern
dalam merealisasikan pembangunan dan kemaslahatan masyarakat.
Sebagai metodologi atau rumusan dalam
makalah ini, penulis ingin sedikit menyampaikan agar dalam penulisannya lebih
baik dari sebelumnya untuk lebih memahami dan lebih fokus pada pembahasannya,
maka ada beberapa hal yang dipaparkan dalam makalah ini yakni :Ayat dan
artinya, Mufrodat ayat, Asbabul Nuzul, Tafsir pedapat para ulama’ Tafsir,
Kandungan Hukum dalam Ayat, Hikmah ayat dan Kesimpulan. Inilah yang nantinya
penulis ingin uraikan saru persatu demi untuk melatih pemahaman kita tentang
ayat-ayat tentang Ekonomi.
B.
Ayat Riba dan Artinya
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata riba
sebanyak delapan kali dalam empat surat, tiga diantarannya turun setelah Nabi
Hijrah dan satu ayat lagi ketika beliau masih di Makkah. Yang di Makkah
walaupun menggunakan kata riba (QS. Al-Rum (30) : 39) ulama sepakat bahwa riba
yang dimaksud di sana bukan riba yang haram karena ia diartikan sebagai
pemberian hadiah, yang bermotif memperoleh imbalan banyak dalam kesempatan yang
lain.[1] Larangan riba
yang terdapat dalam Al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus melainkan diturunkan
dalam empat tahap. Adapun ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan masalah
riba diantaranya :
1.
Surat Ar-Ruum
ayat 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا
لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ
مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم :
39)
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia
bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan
apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan
Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan
(pahalanya)”.
2.
Surat An-Nisaa’
Ayat 160 dan 161.
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ
نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا
لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا
(النساء : 160 ،161 )
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami
haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi
mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Dan
disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang
daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang
batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu
siksa yang pedih.”
3.
Surat Ali Imron
Ayat 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah
kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
4.
Surat
Al-Baqarah Ayat 275-276.
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا
كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ
بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى
فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ
النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي
الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276)
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual-beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Barang
siapa yang datang kepadanya peringatan dari Allah. Lalu ia berhenti
maka baginya adalah apa yang telah berlalu dan
urusannya adalah kepada Allah dan barang siapa yang kembali lagi,
maka mereka adalah penghuni neraka yang kekal di dalamnya.
Allah akan menghapus riba dan melipat gandakan sedekah dan Allah tidak suka
kepada orang-orang kafir lagi pendosa”.(QS. Al-Baqarah : 275- 276)
5. Surat
Al-Baqarah Ayat 278-279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا
مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ
أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dan tinggalkanlah sisa-sisa riba.
jika memang kamu orang yang beriman.
Jika kamu tidak melakukannya, maka
terimalah pernyataan perang dari
Allah dan rasul Nya dan jika kalian
bertobat maka bagi kalian adalah modal-modal, kalian tidak berbuat
zalim dan tidak pula dizalimi”. (QS. Al-Baqarah : 278- 279)[2]
C.
Mufrodat Ayat Riba
Dalam Surat Ar-Ruum Ayat 39, terdapat
beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami yakni:
وَمَا آتَيْتُمْ
|
dan apa-apa
yang kamu berikan
|
مِنْ زَكَاةٍ
|
berupa atau
dari Zakat
|
مِنْ رِبًا
|
sesuatu dari
Riba
|
تُرِيدُونَ
|
yang kamu
semua maksudkan atau kehendaki
|
لِيَرْبُوَ
|
agar dia
(harta tersebut) tambah
|
وَجْهَ اللَّهِ
|
untuk
mencapai keridhoan Allah
|
فِي أَمْوَالِ النَّاسِ
|
di dalam
hartaya manusia
|
فَأُولَئِكَ
|
maka mereka
yang berbuat itu
|
فَلَا يَرْبُو
|
maka riba itu
tidak menjadikan bertambah
|
هُمُ
|
orang yang
berbuat itulah
|
عِنْدَ اللَّهِ
|
di sisi Allah
|
الْمُضْعِفُونَ
|
yakni
orang-orang yang melipat gandakan dalam (Pahalanya)
|
وَمَا آتَيْتُمْ
|
dan apa yang
kamu berikan
|
Di dalam bahasa Arab, bahwa lafadz “Riba”
itu bisa mengandung ma’na tambahan secara mutlaq atau bahwa Riba secara
bahasa bermakna : Ziyadah / tambahan. dalam pengertian lain secara
linguistik, riba juga berarti Tumbuh dam membesar.[3] Adapun menurut
istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal
secara batil.[4] Ada beberapa
pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang
menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam transaksi jual beli
maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prisip muamalah
dalam Islam. Tetapi dalam lafadz yang terdapat dalam Surat Ar-Ruum ayat 39,
tambah disini yang dimaksud tidak lahil hanyalah dalam perihal Pemberihan
hadiah supaya orang yang memberi hadiah tersebut mendapat tambahan yang lebih.
Ini sekilas dari pada uraian lafadz Riba yang dibaca Jer sebab kemasukan huruf
Jer Min.
Lafadz yang terdapat dalam surat kedua
Surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161 dalam masalah Riba yang telah disampaikan di
atas terdapat beberapa kata diantaranya :
فَبِظُلْمٍ
|
maka
disebabkan perbuatan zholim
|
وَأَخْذِهِمُالرِّبَا
|
dan
disebabkan mereka mengambil atau memaksan riba
|
مِنَ الَّذِينَهَادُوا
|
orang-orang
Yahudi
|
وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ
|
padahal
sesungguhnya mereka telah melarang dari padanya
|
حَرَّمْنَا
|
kami haramkan
|
فَأُولَئِكَ
|
maka karena
mereka
|
عَلَيْهِمْ
|
kepada orang Yahudi
|
وَأَكْلِهِمْ
|
mereka
memakan
|
طَيِّبَاتٍ
|
yang
baik-baik
|
أَمْوَالَ النَّاسِ
|
harta benda
manusia
|
أُحِلَّتْ
|
yang dulunya
dihalalkan
|
بِالْبَاطِلِ
|
dengan jalan
bathil
|
لَهُمْ
|
bagi mereka
orang Yahudi
|
وَأَعْتَدْنَا
|
kami telah
menyediakan
|
وَبِصَدِّهِمْ
|
dan karena
mereka menghalalkan
|
لِلْكَافِرِينَ
|
untuk
orang-orang yang kafir
|
عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
|
dari Jalam
Allah
|
مِنْهُمْ
|
diantara
mereka itu
|
كَثِيرًا
|
banyak
|
عَذَابًا أَلِيمًا
|
seksaan yang
pedih
|
Lafadz فَبِظُلْمٍini diwali
dengan huruf Fa’ dan Ba’, kalau Fa’nya ini dalah hurf Athof pada lafadz
sebelumnya. Adapun huruf Ba’nya merupakan Ba’ Sababiyah yang mempuyai arti
sebab, dalam lafadz فَبِظُلْمٍitu asalnya
dari fiil Madhiظلمyang mempunyai
arti hal meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya, ketidak adilan, penganiayaan,
penindasan dan tidak sewenang-wenang. Maka sebab kedholiman orang Yahudi
tersebut, maka Allah mengharamkan sesuatu yang dulunya sesuatu itu baik.
Surat Ali Imron ayat 130 sebagaimana di
atas terdapat kata-kata diantaranya :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai
orang-orang yang beriman
|
اللَّهَ
|
kepada Allah
|
لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
|
janganlah
kamu memakan riba
|
لَعَلَّكُمْ
|
supaya kamu
|
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
|
dengan
berlipat
|
تُفْلِحُونَ
|
mendapat keberuntungan
|
وَاتَّقُوا
|
dan
bertakwalah kamu
|
Lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا itu terdapat
munada di dalamnya yakni lafadz أيyang digunakan
untuk munada yang mana sifatnya berupa isim mausul yang dipasang Al. juga bahwa
lafadz diatas itu sudah kelaku dalam Kalam Arob, Dalam Al Fiyah Ibn Malik
diutarakan dalam Nadhomyna :
وايها ذا ايها الذي ورد * ووصف اي
بسوى هذا يرد
Kemudian dalam Lafadz selanjutnya
terdapat huruf لَا nahi yang
mempunyai arti larangan pada lafadzأَضْعَافًا مُضَاعَفَةًتَأْكُلُوا
الرِّبَاyakni larangan atau jangan kamu semua memakan harta riba
dengan berlipat ganda.
Dalam Surat Al-Baqoroh ayat 275
terdapat beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami dalam berbagai
disiplin ilmu yakni:
الَّذِينَيَأْكُلُونَالرِّبَا
|
Orang-orang yang
makan/ mengambil Riba
|
مَوْعِظَةٌمِنْرَبِّهِ
|
peringatan
dari Allah
|
لايَقُومُونَ
|
tidak dapat
berdiri
|
فَانْتَهَى
|
Lalu ia
berhenti
|
إِلَّاكَمَايَقُومُ
|
melainkan
seperti berdirinya
|
فَلَهُ
|
maka
baginya adalah
|
الَّذِييَتَخَبَّطُهُالشَّيْطَانُ
|
orang yang
kemasukan syaitan
|
مَا سَلَفَ
|
apa
yang telah berlalu
|
مِنَالْمَسّ
|
lantaran
(tekanan) penyakit gila
|
وَأَمْرُهُ
|
dan
urusannya adalah
|
ذَلِكَ
|
Keadaan
mereka yang demikian itu
|
إِلَى اللَّهِ
|
kepada Allah
|
بِأَنَّهُمْقَالُوا
|
adalah disebabkan
mereka berkata (berpendapat)
|
وَمَنْ
|
barang siapa
|
إِنَّمَا الْبَيْعُ
|
sesungguhnya
jual-beli itu
|
عَادَ
|
yang kembali
lagi
|
مِثْلُ الرِّبَا
|
sama dengan
riba
|
فَأُولَئِكَ
|
maka
mereka adalah
|
وَأَحَلَّاللَّهُالْبَيْعَ
|
padahal Allah
telah menghalalkan jual-beli
|
أَصْحَابُ النَّارِ
|
penghuni
neraka
|
وَحَرَّمَالرِّبَا
|
dan
mengharamkan riba
|
هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
|
Mereka yang
kekal di dalamnya
|
فَمَنْجَاءَهُ
|
Barang siapa
yang datang kepadanya
|
Surat Al-Baqoroh ayat 276 terdapat
beberapa kata yang sebelumnya perlu kita fahami juga yakni:
يَمْحَقُ اللَّهُ
|
Allah akan
menghapus
|
وَاللَّهُ
|
Allah
|
الرِّبَا
|
riba
|
لَا يُحِبُّ
|
tidak suka
|
وَيُرْبِي
|
dan melipat
gandakan
|
كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
|
kepada
orang-orang kafir lagi pendosa
|
الصَّدَقَاتِ
|
sedekah
|
Dalam Surat yang kelima dalam urutan
surat di atas yaitu Surat Al-Baqorah ayat 278 dan 279 Lafadz yang terkandung di
dalamnya yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
|
Hai
orang-orang yang beriman
|
مِنَ اللَّهِ
|
dari
Allah
|
اتَّقُوا اللَّهَ
|
bertakwalah
kepada Allah
|
وَرَسُولِهِ
|
dan
dari rasul Nya
|
وَذَرُوا مَا بَقِيَ
|
dan
tinggalkanlah sisa-sisa
|
وَإِنْ تُبْتُمْ
|
dan
jika kalian bertobat
|
مِنَ الرِّبَا
|
riba
|
فَلَكُمْ
|
maka
bagi kalian
|
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
|
jika
memang kamu orang yang beriman
|
رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ
|
adalah
modal-modal
|
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا
|
Jika
kamu tidak melakukannya
|
لَا تَظْلِمُونَ
|
kalian tidak
berbuat zalim
|
فَأْذَنُوا
|
maka
terimalah
|
وَلَا تُظْلَمُونَ
|
dan
tidak pula dizalimi
|
بِحَرْبٍ
|
pernyataan
perang
|
D.
Asbabul Nuzul Ayat Riba
Riba adalah kebiasaan
yang telah membudaya di kalangan masyarakat
Arab jauh sebelum larangan tentang ini
berlaku. Budaya ini jelas tidak akan bisa langsung bisa hilang di
kalangan masyarakat Arab saat itu. Allah SWT dalam pengharaman riba di dalam
Al-Quran dilakukan dengan bertahap. Tahap demi tahap dalam pengharaman ini
menuju kepada keadaan masyarakat saat itu
yang memang telah terbiasa melakukan muamalah ribawiyah
atau transaksi dengan dasar riba untuk mendapatkan keuntungan berlipat ganda.
Secara umum ada 4 periode turunnya ayat
tentang riba, 1 ayat turun di kota Mekah yang berarti ayat tersebut adalah
makiyah dan 3 ayat lainnya turun di kota Madinah
yang berati ayat tersebut adalah madaniyah.
Ayat yang turun di Kota Mekkah adalah :
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا
لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ
مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (الروم :
39)
Pada ayat ini dijelaskan
bahwasanya Allah SWT membenci riba dan
perbuatan riba tersebut tidaklah mendapatkan pahala
di sisi Allah SWT. Pada ayat ini tidak ada petunjuk Allah SWT yang
mengatakan bahwasanya riba itu haram. Artinya bahwa ayat ini hanya berupa
peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif[5].
Periode kedua Allah SWT menurunkan ayat
: Al Nisa’ Ayat 160-161. sebagaimana di atas.
Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu
diturunkan di Kota Madinah. Ayat ini merupakan kisah
tentang orang-orang Yahudi. Allah SWT
mengharamkan kepada mereka riba
akan tetapi mereka tetap mengerjakan
perbuatan ini. Pengharaman riba pada ayat
ini adalah pengharaman secara tersirat tidak
dalam bentuk qoth’i/tegas, akan tetapi berupa
kisah pelajaran dari orang-orang Yahudi
yang telah diperintahkan kepada mereka untuk meninggalkan riba tetapi
mereka mereka tetap melakukannya,[6] hal ini juga
dijelaskan al-Maroghi bahwasanya sebagian nabi-nabi
mereka telah melarang melakukan perbuatan riba.[7]
Periode ketiga Allah SWT menurunkan
Surat Al Imron ayat 130, dan Ayat ini adalah Madaniyah, yaitu diturunkan di
Kota Madinah. Ayat ini menjelaskan kebiasaan
orang Arab saat itu yang sering mengambil
riba dengan berlipat ganda. Ayat ini
telah secara jelas mengharamkan perbuatan riba, akan tetapi bentuk
pengharaman pada ayat ini masih bersifat sebagian, yaitu kepada kebiasaan orang
saat itu yang mengambil riba dengan berlipat
ganda dari modal. Riba ini disebut dengan riba keji (ربا فحش)
yaitu riba dengan penambahan dari pokok modal dari hutang yang berlipat ganda.[8]
Periode terakhir
adalah periode pengharaman mutlak, yaitu Surat Al
Baqarah ayat 278 s/d 279.
Ada beberapa riwayat tentang
riba yang menjadi sebab-sebab turunnya ayat tentang riba,
diantaranya :
Riwayat dari Ibnu
Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun
kepada Bani Amru bin Umair bin Auf
bin Tsaqif. Adalah Bani Mughirah bin
Makhzum mengambil riba dari Bani Amru
bin Umair bin Auf bin Tsaqif, selanjutnya
mereka melaporkan hal tersebut kepada Rasulullah SAW dan
beliau melarang mereka melalui ayat ini untuk mengambil riba.[9]
Berkata ‘Atho dan ‘Ikrimah
bahwasanya ayat ini diturunkan kepada Abbas
bin Abdul Mutholib dan Utsman bin
Affan. Adalah Rasulullah melarang keduanya untuk mengambil riba
dari korma yang dipinjamkan dan Allah SWT
menurunkan ayat ini kepada mereka, setelah mereka
mendengar ayat ini mereka mengambil modal mereka saja tanpa mengambil ribanya.
Berkata Sadi: Ayat
ini diturunkan kepada Abbas dan Khalid bin Walid.
Mereka melakukan kerjasama pada masa Jahiliyah. Mereka meminjamkan
uang kepada orang-orang dari Bani Tsaqif.
Ketika Islam datang mereka memiliki harta
berlimpah yang berasal dari usaha riba, maka Allah menurunkan
ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Maka Nabi SAW bersabda :
“Ketahuilah setiap riba dari riba jahiliyah telah
dihapuskan dan riba pertama yang saya hapus adalah riba Abbas bin Abdul
Muthollib”.
E.
Tafsir Ayat-Ayat Riba
Dalam ayat Al-Qur’an yang telah
diutarakan di atas para Ulama Mufasirin atau Ahli Tafsir dalam mentafsiri Ayat
Al-Qur’an terdapat berbagai pemahaman yang berbeda-beda. Dalam ayat yang
pertama Surat Ar-Ruum ayat 39 dalam Kitab Jalalain karya Al-Imamaini yakni Syeh
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin
Abu Kar As Syuyuti, menafsiri bahwa Lafadz “وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا ”yakni umpamanya sesuatu yang
diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya dari apa yang telah
diberikan orang lain memberikan kepadanya basalan yang lebih banyak dari apa
yang telah ia berikan, pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan
yang dimaksudkan dalam masalah muamalah. Kemudian dilanjutkan lafadz “ لِيَرْبُوَ“
yakni orang-orang yang memberi itu, mendapatkan balasan yang bertambah banyak,
dari sesuatu hadiah yang telah diberikan.sedangkan “ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ “ yang terdapat penjelasana yakni
riba itu tidak menambah banyak inda Allah atau disisi Allah dalam arti tidak
ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ ... ألحini bahwa
orang-orang yang melakukan sedekah semata-mata karena Allah, untuk mendapatkan
keridhoaan-Nya inilah yang akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari
Allah, sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini
terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau
mukhathabin”.[10]
Dalam uraian di atas dalam kami
simpulkan bahwa :
1.
Riba di dalam
Muamalah yang tidak akan mendadikan tambah di sisi Allah atau Inda Allah.
2.
Tidak mendapat
pahala orang yang melakukan riba atau tambahan.
3.
Anggapan salah
yang ditolak, bahwa pinjaman riba yang pada diri orang yang memberi hadiah,
seolah-olah menolong mereka yang membutuhkannya dan juga melakukan suatu
perbuatan untuk mendekatitakarrub kepada Allah.
4.
Shodaqoh
merupakan perkara yang dilipat-lipat gandakan oleh Allah kepada orang yang
bersedekah.
5.
Ayat yang
bersifat peringatan untuk tidak melakukan hal yang negatif atau perkara yang
dilarang oleh Allah.
6. Ayat ini tidak
ada petunjuk Allah SWT yang mengatakan bahwasanya “riba itu haram”.
Dalam surat An-Nisa’ Ayat 160 dan 161
para Ulama Tafsir berpendapat bahwa ;
Lafaz فَبِظُلْمٍمِنَ الَّذِينَ هَادُوا artinya
disebabkan keaniayaan atas perbutan orang-orang Yahudi, حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍyakni yang
tersebut dalam Firman-Nya, “Kami haramkan setiap yang berkuku. “sampai
akhir ayat وَبِصَدِّهِمْ yakni manusai عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ maksudnya
agama-Nya كَثِيرًا
. Juga dalam lafadz وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا
عَنْهُ ini di utarakan dalam kitab Taurat وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ
بِالْبَاطِلِ yakni dengan memberi suap dalam pengadilan وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ
مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا yakni menyakitkan.[11]
Menurut penulis bahwa dalam tafsir ini
saya simpulkan bahwa :
1. Riba merupakan salah satu perbuatan
yang Bathil, termasuk sesuatu yang diharamkan oleh Alloh adalah sesuatu yang
berkuku,
2. Riba telah jelas diharamkan oleh
Alloh begitu juga dalam kitab Taurat
3. Dan bagi orang yang Kafir sudah
dipersiapkan oleh Allah tempat yang sesuai dengan perbuatannya yakni siksa yang
pedih dan menyakitkan.
Pada ayat ini Allah menjelaskan kalau
riba adalah pekerjaan yang batil, maka dari itu Allah juga menjelaskan dalam
ayat tersebut bahwa Allah sudah menyiapkan mereka azab yang pedih. Sebagian
ulama’ berkata : Orang-orang yang menghalalkan riba serta besar dosanya, maka
diapun akan tahu betapa keadaan mereka-mereka kelak di hari akhirat, merka akan
dikumpulkan dalam keadaan gila, kekal di neraka, disamakan dengan orang kafir
akan mendapat perlawanan dari Allah dan Rasul serta kekal dalam la’nat.[12]
Di dalam Surat Ali Imron ayat 130 ahli
Tafsir menjelaskan bahwa lafadz يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ini yang
dimaksud adalah kaum Sakif atau golongan manusia dari bani Sakif, kemudian
lafadz لَا
تَأْكُلُوا الرِّبَاأَضْعَافًا ini yang dimaksud adalah di dalam harta
dirham yang berlebihan, disusul lagi lafadz sebagai penguwat yaitu مُضَاعَفَةً ini maksudnya
adala الاجل misi atau
tujuan, kemudian dilanjutkan lagi dengan kata وَاتَّقُوا اللَّهَ takutlah kamu semua orang Iman
kepada Allah di dalam memakan sesuatu yang mengandung Riba. لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَini dengan
maksud supanya kamu semua mendapatkan keselamatan dari murka seksaan Allah.[13]
Dalam Tafsir di atas dalam Surat Ali
Imron ayat 130 ini penulis simpulkan bahwa :a. yang diperingatkan dalam ayat
ini adalah Golongan Saqif, umumnya Ummat Mamusia beragama Islam, b.Peringatan
untuk menjahui makan Riba, c. Takutlah kepada Allah dalam makan harta Riba,
dengan harapan tidak mendapat murka dan Seksa dari Allah.
Surat Al Baqarah Ayat 275 – 276 bahwa :
Riba: secara bahasa berarti bertambah
dan berkembang, sedangkan dalam terminologi syar’i berarti tambahan nilai dari modal
yang diambil pemilik modal/debitor kepada peminjam/kreditor atas tempo yang
diberikan.[15]
Menurut Ibnu Arabi, riba adalah sesuatu
yang biasa dilakukan manusia Arab pada masa Jahiliyah,
seseorang berjual beli dengan orang lain dalam tempo waktu tertentu,
setelah datang temponya orang tersebut akan menagih ketika tagihan tidak bisa
dilunasi makaorang tersebut akan melipatgandakan pokok hartanya[16].
يَأْكُلُونَ الرِّبَا
Arti makan di sini adalah bermuamalah
atau bertransaksi, disebutkan dengan kata makan karena pada umumnya
kebanyakan tujuan kepemilikan harta adalah untuk dimakan[17].
لَا يَقُومُونَ
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
Maksudnya berdiri tidak seimbang
seperti orang gila [20].
مَوْعِظَةٌ
Secara ringkas bahwa Ibnu Kasir
menafsiri Surat Al-Baqarah ayat yang ke 275, yakni: bahwa orang yang memakan
riba maka ketika mereka bangkit dari kuburannya pada hari kiamat melainkan
seperti berdirinya orang gila pada saat dia mengamuk dan kesurupan Setan.
Keadaan ini ada sebab dalam ayat di atas bahwa Allah SWT. sudah menghalalkan
jual beli dan mengharamkan riba namun mereka berkata “Sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba”. Diperkuat dengan perkataan Ibnu Abbas yaitu “Pemakan
riba akan dibangkitkan pada hari kiamat dalam keadaan seperti orang gila yang
mengamuk”.[23]
يمحق الله الربا
Maksudnya Allah SWT akan mengurangi dan
menghilangkan harta riba secara keseluruhan dari
pemiliknya atau menghilangkan berkahnya sehingga
tidak bermanfaat bahkan dan diberi hukuman
di akhirat[24].
ويربى الصدقات
Kebalikan riba maka sedekah Allah SWT
akan menambah, mengembangkan dan memperbanyak ganjaran dengan
berlipat ganda di akhirat[25].
Dalam Kitabnya Al Imamaini yakni Syeh
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al Mahallii dan Jalaluddin Abdul Ar Rohman bin
Abu Kar As Syuyuti, menafsiri ayat Surat Al Baqarah ayat ke 275 di atas bahwa
Lafadz الَّذِينَ
يَأْكُلُونَ الرِّبَا artinya mengambil Riba. Riba itu ialah tambahan dalam
muamalah dengan uang dan bahan makanan, baik mengenai banyaknya maupun mengenai
waktunya, لَا
يَقُومُونَ dari kubur-kubur mereka إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي
يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّyang menyerang mereka; minal massi
berkata dengan yaquuumuuna. ذَلِكَ maksudnya yang
menimpa mereka itu بِأَنَّهُمْmaksudnya
disebabkan mereka mengatakanقَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَاdalam soal
diperbolehkannya. Berikut ini kebalikan dari persamaan yang mereka katakan itu
secara bertolak belakang, maka Firman Allah menolaknya.
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبَافَمَنْ جَاءَهُ,
maksudnya sampai kepadanya مَوْعِظَةٌatau nasihat مِنْ
رَبِّهِ ,lafadz فَانْتَهَى,
artnya tidak memakan riba lagi فَلَهُ مَا سَلَفَ artinya sebelum
datangnya larangan dan doa tidak diminta untuk mengembalikannya وَأَمْرُهُdalam
memaafkannya terserah وَمَنْ
عَادَ memakannya dan tetap meyamakannya dengan jual beli
tentang halalnya, فَأُولَئِكَ
أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ .
mereka tetap di dalam neraka selamanya.[26]
Dalam ayat di atas telah ditafsiri oleh
Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir An Naisabuuri, sebagai Syaih Tanah Haram
Makkah (242-319 H. / 856-931 M) .
Sesudah Allah menyebutkan sifat
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan kewajiban zakat disamping bersedekah
kepada fakir miskin, dan selalu membantu perjuangan di jalan Allah dengan harta
dan tenaganya, yang kesemuanya itu semata-mata karena mengharap ridha Allah,
maka dalam ayat ini Allah menceritakan sifat orang yang menyalahgunakan kalimat
menolong atau membantu, padahal sebenarnya ia mencari keuntungan bahkan
mencekik dan menghisap darah. Mereka adalah pemakan riba. Allah menyatakan,
bahwa mereka yang memakan riba tak akan dapat berdiri tegak dalam hidupnya di
tengah masyarakat, melainkan bagaikan orang kesurupan setan. Sebab, ia takkan
pernah tenang sesudah ia menghisap darah dan kekayaan dengan cara yang
sekejam-kejamnya karena sasarannya selalu orang-orang yang membutuhkan bantuan
dengan jalan menghutang. Lebih-lebih kelak jika bangkit dari kubur di hari
kiamat ia bagaikan orang kesurupan yang dipermainkan setan.
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Pemakan
riba (rentenir) akan dibangkitkan di hari kiamat bagaikan orang gila yang
tercekik." Ibnu Abbas r.a. juga mengatakan, banwa kelak di hari kiamat
akan dikatakan kepada pemakan riba: "Angkatlah senjatamu untuk
berperang". Kemudian Ibnu Abbas membaca ayat 275 ini.
Abu Hurairah r.a. menuturkan, bahwa
Rasulullah saw. bersabda, "Ketika nulam Mi'raj aku melihat suatu kaum yang
perut mereka bagaikan rumah. Dari dalamnya tampak
adaular-ularyangmerayapkeluar. Kemudian aku bertanya, “Siapakah mereka itu, hai
Jibril?' Jawab Jibril/Mereka adalah pemakan riba'."
Ketika menceritakan hadis tentang Isra'
Samurah bin Jundub menyebutkan sabda Nabi SAW.: "Kemudian kami sampai
ke sungai yang airnya merah bagaikan darah, dan di situ ada orang berenang,
sementara di tepi sungai ada orang yang mengumpulkan batu-batu. Apabila orang
yang berenang itu datang ke tepi sambil membuka mulutnya, maka orang yang
mengumpulkan batu itu memasukkan batu ke dalam mulutnya.'' Kemudian
disebutkan dalam penjelasan-nya, bahwa itu adalah pemakan riba.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا
الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
Maknanya: "Karena mereka telah menentang hukum
Allah, dan mengatakan, bahwa jual beli itu sama dengan riba".
Dalam hal ini
mereka mempergunakan qiyas yang terbalik dan keliru.
Allah Maha Mengetahui dan Maha
Bijaksana, yang mengetahui hakikat dan akibat dari segala sesuatu yang berguna
sehingga dibolehkan dan yang berbahaya diharamkan-Nya. Sebab, Allah itu sayang
kepada hamba-Nya melebihi kasih sayang ibu terhadap anaknya yang masih bayi.
فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ
رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَاسَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ
Maknanya: "Maka barangsiapa yang
mendengar larangan Allah ini lalu berhenti, baginya apa yang telah lalu
sebelum turunnya ayat yang mengharamkan ini, sebagaimana yang tersebut di ayat
yang lain".عق
الله عما سلق ,
maknanya: "Allah
memaafkan apa yang telah lalu".Juga disebutkan dalam sabda Nabi saw.
ketika Fathu Makkah: "Dan setiap riba yang terjadi di masa
Jahiliyah terletak di bawah telapak kakiku, dan yang pertama aku hapus ialah
riba yangdilakukan oleh Al-Abbas'. Sejak Nabi saw. bersabda begitu, maka orang
yang biasa membayar bunga hutangnya dihentikan, dan yang harus dibayar hanya
pokok hutangnya saja. Dan Nabi saw. tidak menyuruh mereka yang sudah menerima
bunga riba itu untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya.
Ummu Yunus (al-Aliyah) binti Abqa'
mengatakan, bahwa Ummu Bahnah ibunya Zaid bin Arqam (yakni bekas budaknya yang
pernah dikumpulinya sehingga melahirkan anak) berkata kepada Aisyah r.a., "Ya
Ummul Mukminin, kenalkah anda kepada Zaid bin Arqam?" Jawab Aisyah,
"Kenal." Ummu Bahnah berkata, "Aku telah menjual kepadanya
seorang hamba seharga delapan ratus dengan hutang sampai waktu membayarnya.
Tetapi kini ia butuh uang, maka aku beli budak itu seharga enam ratus."
Aisyah r.a. berkata, "Busuk sekaji pembelianmu itu. Sampaikanlah kepada
Zaid, bahwa ia telah menggugurkan jihadnya bersama Rasulullah saw. Sunguh telah
gugur jihadnya bersama Rasulullah saw. Sungguh telah gugur jihadnya, jika ia
tidak segera bertobat." Ummu Bahnah bertanya, "Bagaimana
pendapatmu jika aku halalkan yang dua ratus itu dan aku hanya menerima uang
enam ratus saja?" Jawab Aisyah, "Ya, seharusnya memang begitu.
Barangsiapa yang mendapat petunjuk Tuhannya lalu menghentikan perbuatan
ribanya, maka baginya apa yang telah lalu sebelum ia ketahui. Yakni jika sudah
mengetahui hukumnya, maka haram dan sebagai seorang muslim harus
menghentikannya. Jika tidak, berarti ia menentang hukum Allah, berperang
melawan Allah." (H.R. Ibnu Abi Hatim).
Keterangan atsar ini masyhur dan ini
menjadi dalil haramnya menjual barang dengan hutang, kemudian dibeli kembali
oleh penjualnya dengan harga kontan yang kurang dari harga pembeliannya.
وَمَنْ عَادَmaknanya:
"Dan barangsiapa yang mengulangi perbuatan ribanya sesudah mendapat
keterangan ini, maka mereka layak menerima siksa Allah. Mereka adalah ahli
neraka dan kekal di dalamnya".
Shohabat Jabir RA. menuturkan, bahwa
ketika ayat 275 ini turun, Nabi saw. bersabda, "Barangsiapa yang tidak
menghentikan (meninggalkan) mukhabarah. maka hendaknya diberitahu, bahwa ia
akan berperang dengan Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud dan Hakim)
Mukhabarah ialah menggarapkan tanah
kepada orang lain untuk minta bagian dari hasilnya. Muzabanah ialah membeli
dengan caramenukar kurma ruthab yang masih basah di atas pohon dengan kurma
yang sudah kering di atas tanah. Muhaqalah ialah membeli dengan menukar
biji-biji (padi dan sebagainya) yang masih di pohon dengan padi yang sudah
kering di tanah. Kesemua-nya itu diharamkan, karena tidak dapat diketahui
persamaan timbangannya.
Ulama fiqih berpendapat, tidak
mengetahui persamaan timbangan antara dua jenis barang sama dengan riba fadhal
(menukar barang sejenis dengan kelebihan yang satu dari yang lainnya).
Dan urusan riba ini termasuk perkara
sulit bagi kebanyakan ahli ilmu, sehingga Umar bin Khathab r.a.
berkata,"Ada tiga hal yang aku inginkan, andaikan Rasulullah saw. memberi
kepada kami pedoman untuk menjadi pegangan, yaitu hak waris nenek (datuk) dan
kalalah serta beberapa masalah riba dan yang mirip dengan riba atau dapat
menyebabkan riba."
An-Nu'man bin Basyir mengatakan, bahwa
ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
حرام فالوسيلة إليه مثله؛ لأن ما أفضى إلى الحرام حرام، كما
أن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب. وقد ثبت في الصحيحين، عن النعمان بن بشير،
قال: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "إن الحلال بين وإن الحرام
بين، وبين ذلك أمور مشتبهات، فمن اتقى الشبهات استبرأ لدينه وعرضه، ومن وقع في
الشبهات وقع في الحرام، كالراعي يرعى حول الحمى يوشك أن يرتع فيه (رواه البخارى
ومسلم )
"Sesungguhnya halal itu sudah jelas dan
haram juga sudah jelas, dan di antara keduanya ada hal-hal yang samar.
Karenanya, barangsiapa yang menjaga diri dari perkarasyuhbat, bersih agama dan
kehormatannya. Sebalilnya barangsiapa yang terjerumus ke dalam perkara syuhbat
maka ia akan jatuh ke dalam perkara haram, ^agaikan gembala yang memelihara
ternaknya di sekiiar tempat terlarang, mungkin ternaknya terjerumus ke
didalamnya."(H.R. Bufchari-Muslim).
Al-Hasan bin Ali r.a. mengatakan, bahwa
ia mendengar Rasulullah saw. bersabda:
دع ما يريبك إلى ما لا يريبك
"Tinggalkan apa yang anda ragukan, kerjakan apa
yang
tidak anda ragukan. ". (HR. Ashabus Sunan)
Dan di hadis lain disebutkan:
وفي الحديث الآخر: "الإثم ماحاكفي القلب وتردد تفيه النفس،وكرهت
أن يطلع عليه الناس
"Dosa itu yang goyah dalam hati, dan ragu dalam
perasaan, serta tidak suka dilihat orang. "
Di lain riwayat disebutkan:
استفت قلبك وإن أفتاك الناس المفتون
"Tanyakan kepada
hatimu sendiri, meskipun sudah diberi fatwa oleh semua orang. "
Umar r.a. berkata,"Di antara ayat-ayat yang akhir
turunnya ialah ayat tentang riba, dan Rasulullah saw. meninggal dunia sebelum
menerangkan semua rinciannya kepada kami. Karena itu, tinggalkan riba dan semua
yang meragukan."
Abu Sa'id mengatakan, bahwa Umar r.a. berkhotbah:
"Sungguh, mungkin aku melarang kalian dari apa-apa yang mungkin berguna
bagi kamu, dan termasuk di antara ayat-ayat yang terakhir turunnya ialah ayat
tentang riba, sehingga ketika Rasulullah saw. meninggal dunia belum menerangkan
semuanya kt?ada kita. Karena itu, tinggalkan apa yang kalian ragukan, untuk
melakukan apa yang tidak meragukan."
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Murdawaih)
Ibnu Mas'ud r.a. mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda,
"Riba itu ada tujuh puluh tiga bab (cara)."
(HR. Ibnu Majah dan Hakim).
Abu Hurairah mengatakan, bahwa Nabi saw. bersabda,
"Riba itu ada tujuh puluii macam bagiannya, seringan-ringannya seperti
seseorang yang bersetubuh dengan ibunya."
(HR. Ibnu Majah)
F.
Kandungan Hukum Ayat Riba
Berdasarkan ayat-ayat
Al-Quran dan Sunnah bahwa terdapat larangan untuk
melakukan transaksi riba. Larangan yang paling jelas dari
nash Al-Quran adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
(278)
Ayat ini di dalam uslubnya adalah
perintah, tetapi perintahnya adalah untuk meninggalkan.
Di dalam ushul fiqih larangan terhadap
sesuatu adalah berarti perintah untuk berhenti
mengerjakan sesuatu tersebut. Dalam hal ini
larangan untuk mengerjakan riba berarti perintah untuk
berhenti mengerjakan riba. Hukum asal setiap larangan adalah untuk pengharaman.[27]
Disamping ayat di
atas pengharaman riba juga terdapat pada ayat
yang turun sebelum ayat ini, yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا
أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Di dalam Hadits
bahkan ada beberapa orang yang terkait
dengan orang yang bertransaksi riba ini
akan mendapat laknat dari Allah SWT, yaitu:
عن جابر رضى الله عنه قال : لعن رسول الله صلى الله عليه
وسلم : أكل الربا وموكلها وكاتبها وشاهديه وقال : هم سوء (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir r.a berkata:
Rasulullah SAW melaknat pemakan riba, orang
yang mewakili riba, penulis riba, dan
2 orang yang menjadi saksi dari transaksi riba, beliau bersabda: mereka
adalah sama[28]
Ada pendapat yang mengatakan bahwa
keharaman riba adalah jika dilakukan dengan berlipat
ganda sebagaimana ayat di atas yang
menyebutkan larangan untuk tidak memakan riba
dengan berlipat ganda. Menjawab
hal tersebut bahwa
sesungguhnya lafadz أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً adalah bukan
menunjukkan bahwa larangan ini berlaku hanya kepada riba yang
diambil dengan berlipat ganda, akan tetapi ayat ini
hanya menggambarkan bahwa keadaan ketika ayat
tersebut diturunkan bahwa masyarakat Arab
ketika itu benar-benar melakukan perbuatan
tercela dengan mengambil riba yang berlipat
ganda. Turunnya ayat ini adalah fase
ketika dari turunnya larangan riba yang
secara bertahap. Artinya larangan sampai
fase yang ketiga ini hanya bersifat
larangan terbatas (juz’i), akan tetapi
selanjutnya setelah turun ayat untuk fase keempat secara jelas
disebutkan bahwa riba itu secara keseluruhan adalah haram. Haramnya riba
adalah baik untuk yang sedikit maupun untuk yang banyak, baik yang mengambil
keuntungan dengan riba itu yang berlipat
ganda maupun yang tidak berlipat ganda.
Seperti pengharaman khomar, bahwa khomar sedikit
maupun banyaknya adalah haram, demikian juga dengan riba. Seperti khomar
yang merupakan salah satu budaya dari
masyarakat Arab ketika itu, ribapun termasuk bagian dari budaya
masyarakat Arab yang sangat kuat, oleh karena itu
Allah SWT dalam pengharaman riba menurunkannya
secara bertahap sama seperti pengharaman khomar
yang juga bertahap.
Ada satu kaedah fiqh yang terkait
dengan hukum riba, yaitu :
اذا اتحد الجنسان حرم الزيادة والنساء واذا اختلف الجنسان
حل التفاضل دون النساء
Artinya: Jika sama bentuk kedua barang maka haram
(riba fadl dan nasi’ah) dan jika berbeda bentuk kedua barang maka boleh lebih
nilai satu dengan yang lain tetapi tetap haram riba nasiah. [29]
Dalam kaedah ini dijelaskan bahwa ushul
ribawyah yang sama haram untuk berbeda, antara
gandum dengan gandum haram untuk ditukar dalam jumlah
yang berbeda.
Selanjutnyaapakah transaksi ribawi akan
merusak akad/ perjanjian jual-beli? Berdasarkan kaedah ushul
fiqih terdapat perbedaan di kalangan ulama, yaitu:
1. Bahwasanya
larangan terhadap perkara muamalah akan menyebabkan rusaknya aqad muamalah
tersebut. Artinya akad jual beli bisa batal ketika jual beli tersebut
menggunakan transaksi riba di dalamnya.
النهى يضتضى الفساد فى المنهى عنه فى
المعاملات
2. Bahwasanya
larangan terhadap perkara muamalah tidak akan menyebabkan rusaknya akad
muamalah tersebut. Artinya akad jual beli tidak batal
tetapi jual beli tersebut sah, hanya
saja hukum akadnya menjadi makruh.
النهى لا يضتضى الفساد فى المنهى عنه
فى المعاملات
Di dalam perkembangannya bahwa riba
terdapat dalam banyak
bentuk. Salah satu bentuk riba
adalah bunga bank. Mengapa bunga bank
haram? Karena terdapat unsur riba jahiliyah
di dalamnya. Pengertian riba sangat dikenal dekat di masyarakat
Arab sebagai riba nasi’ah. Biasanya
orang yang memberi
hutang ketika jatuh tempo/waktu
pembayaran akan mengatakan
kepada orang yang berhutang تقضي او تربيartinya hendak
engkau lunasi hutangmu atau bertambah hutangmu? bertambah di sini adalah
berlipat bunga hutang tersebut. Di dalam sistem bunga disamping bunga yang
telah dihitung, ketika jatuh tempo dan belum
dibayar maka secara otomatis denda akan dikenakan yang
akan semakin menambah hutang nasabah.
Riba nasi’ah pada
dasarnya adalah riba tempo, yaitu ketika
seseorang berhutang dalam waktu berjangka yang telah ditetapkan maka
ia dikenakan tambahan berdasarkan persentase bunga
dari sisa pokok hutangnya.
Selanjutnya banyak pertanyaan yang
sebenarnya adalah ulangan yang ditanyakan orang-orang jahiliyah dahulu yang
menyebutkan bahwa riba adalah sama atau
identik dengan jual beli. Bahkan banyak
juga pertanyaan-pertanyaan kritis bahwa bank
Islam atau Bank Syariah tidak
lebih hanya sama dengan
bank-bank konvensional. Untuk menjawab hal ini
penulis mengutip pendapat Prof. A. Mannan yang
menyebutkan beberapa perbedaan antara perdagangan/jual beli
bebas bunga dan jual beli berbunga :
1.
Pengambilan
resikolah yang membedakan antara jual beli
dan bunga. Bagi perdagangan normal
resiko adalah dasar yang diperkenankan
Islam, sedangkan bunga tetap dan tidak turun naik seperti laba.
2.
Bila modal yang
diinvestasikan dalam perdagangan menghasilkan laba, ia merupakan hasil
inisiatif, usaha, dan efesiensi, yang tidak terdapat pada bunga, yang hanya
tahu untuk tanpa usaha.
3.
Perdagangan
adalah produktif dan akan mendapatkan manfaat
sesudah bekerja, mengalami kesulitan dan berketerampilan, maka
seseorang membuka lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi. Adapun bunga terbukti hanya
meningkatkan krisis dan riskan terhadap resiko gejolak
moneter.
4.
Perdagangan
salah satu faktor dominan dalam proses
pembangunan peradaban, sedangkan bunga
menciptakan kelemahan, dengan mementingkan keuntungan diri sendiri.[30]
G.
Hikmah Diharamkannya Riba
Islam dalam memperkeras persoalan
haramnya riba, semata-mata demi melindungi kemaslahatan manusia, baik dari segi
akhlaknya, masyarakatnya maupun perekonomiannya.
Kiranya cukup untuk mengetahui
hikmahnya seperti apa yang dikemukakan oleh Imam ar-Razi dalam tafsirnya
sebagai berikut:
1.
Riba adalah
suatu perbuatan mengambil harta kawannya tanpa ganti. Sebab orang yang
meminjamkan uang 1 dirham dengan 2 dirham, misalnya, maka dia dapat tambahan
satu dirham tanpa imbalan ganti. Sedang harta orang lain itu merupakan standard
hidup dan mempunyai kehormatan yang sangat besar, seperti apa yang disebut
dalam hadis Nabi: "Bahwa kehormatan harta manusia, sama dengan kehormatan
darahnya.”(Abu Nua'irn
dalam Hilyah).
Oleh karena itu mengambil harta kawannya tanpa ganti,
sudah pasti haramnya.
2.
Bergantung
kepada riba dapat menghalangi manusia dari kesibukan bekerja. Sebab kalau si
pemilik uang yakin, bahwa dengan melalui riba dia akan beroleh tambahan uang,
baik kontan ataupun berjangka, maka dia akan mengentengkan persoalan mencari
penghidupan, sehingga hampir-hampir dia tidak mau menanggung beratnya usaha,
dagang dan pekerjaan-pekerjaan yang berat. Sedang hal semacam itu akan
berakibat terputusnya bahan keperluan n-tasyarakat. Iran satu hal yang tidak
dapat disangkal lagi, bahwa kemaslahatan dunia seratus persen ditentukan oleh
jalannya perdagangan, pekerjaan, perusahaan dan pembangunan. (Tidak diragukan
lagi, bahwa hikmah ini pasti dapat diterima, dipandang dari segi perekonomian).
3.
Riba akan
menyebabkan terputusnya sikap yang baik (ma'ruf) antara sesama manusia dalam
bidang pinjam-meminjam. Sebab kalau riba itu diharamkan, maka seseorang akan
merasa senang meminjamkan uang satu dirham dan kembalinya satu dirham juga.
Tetapi kalau riba itu dihalalkan, maka sudah pasti kebutuhan orang akan
menganggap berat dengan diambilnya uang satu dirham dengan diharuskannya
mengembalikan dua dirham. Justru itu, maka terputuslah perasaan belas-kasih dan
kebaikan. (Ini suatu alasan yang dapat diterima, dipandang dari segi ethik).
4.
Pada umumnya
pemberi piutang adalah orang yang kaya, sedang peminjam adalah orang yang tidak
mampu. Maka pendapat yang membolehkan riba, berarti memberikan jalan kepada
orang kaya untuk mengambil harta orang miskin yang lemah sebagai tambahan.
Sedang tidak layak berbuat demikian sebagai orang yang memperoleh rahmat Allah.
(Ini ditinjau dari segi sosial).
Ini semua dapat diartikan, bahwa riba
terdapat unsur pemerasan terhadap orang yang lemah demi kepentingan orang kuat
(exploitasion de l'home par l'hom) dengan suatu kesimpulan: yang kaya bertambah
kaya, sedang yang miskin tetap miskin. Hal mana akan mengarah kepada
membesarkan satu kelas masyarakat atas pembiayaan kelas lain, yang memungkinkan
akan menimbulkan golongan sakit hati dan pendengki; dan akan berakibat
berkobarnya api terpentangan di antara anggota masyarakat serta membawa kepada
pemberontakan oleh golongan ekstrimis dan kaum subversi. Sejarah pun telah
mencatat betapa bahayanya riba dan si tukang riba terhadap politik, hukum dan
keamanan nasional dan internasional.
H.
Kesimpulan
Riba secara bahasa bermakna : Ziyadah
/ tambahan. dalam pengertian lain secara linguistik, riba juga berarti
Tumbuh dam membesar.[31]
Adapun menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta
pokok atau modal secara batil.[32]
Ada beberapa pendapat dalam menjelasakan riba, namun secara umum terdapat
benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambin tambahan, baik dalam
transaksi jual beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan
dengan prisip muamalah dalam Islam.
Keraguan terjerumus ke dalam riba yang
diharamkan menjadikan para shahabat Nabi, seperti ucapan Umar Ibn Khaththab,
“Meninggalkan sembilan per sepuluh dari yang halal.” ini disebabkan mereka
tidak memperoleh informasi yang utuh tentang masalah ini langsung dari Nabi
Muhammad Sholallahu ‘Alaihi Wa Sallam.[33]
Di dalam Ayat-ayat tertang riba di atas
bahwa penulis sedikit menyimpulkan bahwa ayat di atas itu disampaikan dengan
cara bertahab-tahab mulai dari sesuatu yang dikabarkan tentang bahayanya yang
akhirnya diharakkan-Nya. Maka kita sebagai Manusia yang Iman kepada Ayat Allah
harus berusaha menjahui riba lebih-lebih tahu mana sesuatu yang riba dengan sesuatu
yang tidak riba.
I.
Penutup
Semua orang yang akan
atau telah berkeluarga pasti bercita-cita untuk
mewujudkan keluarga yang harmonis, keluarga yang dibalut mawaddah
wa rahmah dan inilah tujuan utama dari dibentuknya keluarga (QS. Ar Rum 30:21).
Darinya diharapkan lahir sebuah generasi penerus yang
salih dan shalihah, sehingga keluarga tersebut
berperan sebagai batu pertama membangun suatu
masyarakat (QS. Al Furqon 25: 74).
Tafsir sebagai salah satu ilmu yang
mempunyai fungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an atau yang masih bersifat mujmal,
namun tafsir hanya sebatas hasil penalaran, kajian dan ijtihad para mufassir
sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, dimana mufassir dalam menafsirkan
Al-Qur’an ada kalanya dengan cara bil ma’tsur dan ada kalanya bir ro’yi.
Seperti halnya tafsir Ibnu Katsir yang mana tafsir tersebut dalam penyusunannya
menggunakan metode bil ma’tsur sebab dalam tafsir tersebut ditafsir dengan
Al-Qur’an yaitu dengan menjelaskan satu ayat dan dikuatkan dengan ayat yang
lain, selain menafsirkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an beliau juga menafsirkan
dengan hadits dan juga pendapat para sahabat, sehingga kami bisa menemukan
beberapa kajian tentang mu’amalah khususnya masalah Riba dalam tafsir tersebut.
Misalnya dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang menjelaskan tentang riba dan
masih banyak surat-surat yang lain yang menjelaskan tentang hukum mu’amalah
dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir.
J.
Kritik Dan Saran
Selama proses penulisan makalah ini,
penulis melakukan perenungan dalam
pembuatan makalah ini. Diharapkan makalah ini dapat mengajak seluruh pembaca
untuk lebih memahami tentang tafsir dalam Muamalah.
Dalam penulisan makalah ini, penulis
sadar bahwa masih banyak kekurangan yang menyebabkan makalah ini jauh dari
kesempurnaan yang diharapkan. Oleh karena itu, penulis mengharap sumbang kritik
dan saran yang membangun yang nantinya bermanfaat bagi penulis sendiri maupun
seluruh pembaca.Wallauhua’lam
[1] . Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Mizan. Bandung. Cet. I. hlm. 545.
[3]Muhammad
Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani.
Cet. IV. 2009. hlm. 37 diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A
Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation
(Leiden: EJ. Brill, 1996) karya Abdullah Saeed.
[4]Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan (Jakarta; Central
Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).
[12]Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Terjemah Kitab Tafsir Ayat Ahkam, Surabaya, PT. Bina Ilmu,
2003, hal. 324
[14]Ibnu
al-Manzhur. Lisan al-Arab.Jild. 14
(Beirut: Dar al-Fikr. 1990) hal. 304. Lihat juga Majma
al-Lughoh al-Arabiyah. Al-Mu’jam al-Wasith. Jilid.1 ( Arab Saudi:
al-Dar al-Handasah. 1985) hal. 338
[17]Al-Baghwi.
Ma’alim Tanzil fi al-Tafsir wa al-Takwil.
(Bairut: Dar el-Fikr. Juz.1. 1989) hal.
397. Lihat juga an-Nisabury. Tafsir
Ghoroib al-Quran wa Roghoib al-Furqon. Jilid. 2 ( Libanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah. 1996 ) hal 60.
[18]Al-Baghwi…….
hal. 397. Lihat juga Sayyidi Abdurrahman. Al-Jawahir Al-Hisan fi
Tafsir al-Quran. (Libanon. Dar al-Kutub al_ilmiyah. Juz.1) hal. 216.
[19]Ibnu
Katsir. Al-Quran al-Azhim. Jilid. 1
(Beirut: Dar al-Fikr.) hal. 275. Lihat juga
Sayidi Abdurrahman. al-Jawahir al-Hisan fi
Tafsir al-Quran. Juz.1 (Libanon. Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Bairut) hal. 216.
[30] M.A
Mannan. Ekonomi Islam: Teori dan
Praktek. Alih bahasa: Potan Arif Harahap ( Jakarta:
PT Intermasa. 1992) hal. 295-296.
[31]Muhammad
Syafi’I Antoni, Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. (Depok Gema Insani.
Cet. IV. 2009. hlm. 37 diambil dari Buku Islamic Bangking and Interest: A
Study of The Prohibition of Riba and its contemporary Interpretation
(Leiden: EJ. Brill, 1996) karya Abdullah Saeed.
[32]Muhammad Syafii
Antonio, Bank Syariah: Wawasan Ulama dan Cendekiawan (Jakarta; Central
Bank of Indonesia and Tazkia Institute, 1999).
[33]M. Quraish
Shihab, Wawasan Al-Qur’an : Tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat.
Mizan. Bandung. Cet. I. hlm. 544.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar