Tulisan Berjalan

SELAMAT DATANG DI BLOG IBNU IMBRAN

Minggu, 15 Desember 2013

Tindak Pidana Pencurian Dalam Perspektif Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia pada dasarnya tidak lepas dengan namanya kebahagiaan dan kecemasan dalam hidupnya. Sebuah kebahagiaan akan dirasakan dalam hidup jika di dasari dengan sebuah ketenangan hati, namun terkadang ketenangan tersebut dapat terusik dengan berbagai masalah keamanan.
Keamanan seseorang bisa terusik karena adanya sebuah kejahatan yang sering kali menghantui dalam lingkungan kita. Kejahatan tersebut dapat berupa pembunuhan, perampokan maupun pencurian. Dalam kejahatan pencurian memang tidak membahayakn bagi jiwa korban, namun membahayakan bagi harta korban tersebut, sehingga pencurian juga dapat mengusik ketenangan seseorang.
Dari uraian di atas kami selaku penulis makalah ingin sedikit memaparkan tentang pencurian yang bab pencurian guna sebagai tambahan bagi kita tentang hukum dalam pencurian.
Dengan demikian  kami ingin sedikit memaparkan tentang pandangan islam terhadap dunia kriminal pencurian, di antaranya adalah tentang pengertian dan hukum dari pencurian tersebut. Dalam penulisan makalah ini kami akan sedikit mengulas tentang bab pencurian yang meliputi pengertian pencurian, dampak pencurian, hukuman bagi tindakan pencurian, dan syarat-syarat hukuman potong tangan bagi pelaku pencurian.
B.     Rumusan Masalah
1.     Apakah Pengertian Pidana dan Pencurian ?
2.     Bagaimana Cara Penanggulangan Tindak Pidana Pencurian Dalam Perspektif Islam !
3.     Bagai mana perbandingannya dengan undang – undang ?
C.   Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Untuk mengetahui pengertian Jarimah pencurian
2.      Untuk mengetahui Sanksi Hukum Pencurian
3.      Untuk mengetahui Unsur – unsur pencurian
4.      Untuk Mengetahui Hikmah Jarimah.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Mencuri
1.    Mencuri
Menurut bahasa, mencuri (sariqah) adalah mengambil sesuatu yang bukan miliknya secara sembunyi-sembunyi.
Adapun menurut istilah, adalah mengambil harta yang terjaga dan mengeluarkan dari tempat penyimpanannya tanpa ada kerancuan (syubhat) di dalamnya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi[1]
Sedangkan dalam bukunya Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq berpendapat bahwa yang dimaksud mencuri adalah mengambil barang orang lain secara sembunyi-bunyi.[2]
Mencuri adalah mengambil harta milik orang lain dengan tidak hak untuk dimilikinya tanpa sepengetahuan pemilikinya. Mencuri hukumnya adalah haram.[3]
Dari beberapa pendapat di atas, maka yang di maksud mencuri adalah mengambil harta orang lain yang terjaga dan tempat penyimpanan dengan cara sembunyi-sembunyi dan harta tersebut tidak syubhat.
                                            
2.    Alasan manusia melakukan pencurian
            Dalam melakukan pencurian, seorang melakukan pencurian bukan karena tidak ada faktor atau alasan untuk melakukan kelakuan tercela tu. Seorang pencuri dalam melakukan aksinya pun memiliki alas an kenapa dia harus mencuri. Alasan-alasan itu di antaranya adalah:
a.    Adanya niat
     Jika niat sudah kuat, apa pun bisa dilakukan, kesempatan bisa diciptakan karena memang sudah ada niat kuat untuk melakukan pencurian tersebut. Karena niat memiliki peran peting dalah melakukan tindakan tidak terkecuali dalam pencurian, jika miat sudah bulat maka rintangan apapun akan tetap dihadapi jika sudah datang waktu yang telah direncanakan
b.    Adanya kesempatan
     Hal ini sesungguhnya kurang mendasar dalam hal alasan orang melakukan pencurian, namun hal ini bisa menjadi alsan kenapa oaring melakukan pencurian. Seseorang terkadang tiada niatan pada awalnya untuk mencuri, namun seiring adanya peluang atau kesempata maka niatan untuk mencuri dapat timbul seketika tanpa ada niatan yang terencana sebelumnya.
c.    Faktor ekonomi 
     Hal ini merupakn alasan yang cukup mendasar kenapa orang melakukan pencurian, para pencuri melakukan pencurian biasanya dengan dalih untuk mencari penghasilan untuk menyambung hidup mereka.
d.   Kurangnya iman
Pada dasarnya ini adalah alasan yang paling mendasar dari pencurian. Seorang pencuri tidak mungkin memiliki aqidah dan keimanan yang kuat kepada Allah sebagai zat yang mengatur kehidupan di dunia ini. Orang yang aqidah dan keimanan yang kuat sudah pasti ia tidak akan melakukan pencurian walaupun ada kesempatan dan ekonomi yang tidak stabil, bahkan niatan untuk mencuri pun tidak ada dalam benaknya.[4]

B. Dampak Negatif Mencuri
Dalam sebuah perkara atau perbuatan pasti ada dai dalamny hokum sebab akibat yang itu tidak bisa lepas dan selalu mengikuti. Dalam hal pencurian yang notabene adalah perbuatan jahat, maka di balik perbuatan tersebut adanya dampak negatif yang merugikan terhdap orang lain maupun terhadap diri sendiri.
1.    Dampak terhadap pelakunya
Dampak yang akan di alami bagi pelaku pencurian atas perbuatanya tersebut antara lain, mengalami kegelisahan batin karena pelaku pencurian akan selaludikejar-kejar rasa bersalah dan takut jika perbuatanya terbongkar, mendapat hukuman yang berat apabila ia tertangkap yang sesuai dengan hukum yang di tetapkan, mencemarkan nama baik karena jika ia terbukti mencuri sudah pasti namanya tercemar di mata masyarakat, dan dapat merusak keimanan, karena seorang yang mencuri berarti telah rusak imanya dan ika ia mati sebelum bertobat maka ia akan mendapat azab yang pedih.[5]
2.    Dampak terhadap korban pencurian
Dampak dari pencurian bagi korban diantaranya adalah dapat menimbulkan kerugian harta, kekecewaan yang menimpa korban karena kehilangan hartanya, keresahan jiwa dan ketakutan kerana harta merasa terancam.[6]

C. Hukum Mencuri Dalam Islam
          Pada kenyataannya mencuri termasuk perbuatan dosa besar, dan para ulama telah sepakat tenteng keharamannya, begitu juga hukuman para pelaku pencuri telah ditetapkan dalam al-Qurán, as-Sunnah dan ijm’ para ulama.
1.    Dasar sanksi hukum bagi pencuri dalam al-qur’an
Allah SWT telah berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”
(Al-Ma’idah 38)
M. Quraish Shihab dalam tafsirnya Al Misbah menjelaskan makna ayat tersebut adalah bahwa pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, potonglah pergelangan tangan keduanya sebagai pembalasan duniawi bagi apa, yakni pencurian yang mereka kerjakan dan sebagai sisksaaan dari Allah yang menjadikan ia jera dan orang lain takut melakukan hal serupa. Dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya. Tetapi jika ia menyadari kesalahannya dan menyesali lalu bertaubat, maka barang siapa bertaubat di antara pencuri-pencuri itu sesudah meakukan penganiyayaannya yakni pencurian itu walaupun telah berlalu waktu yang lama dan memeperbaiki diri, antara lain mengembalikan apa yang telah dicurinya atau mengembalikan senilainya kepada pemiliknya yang syah, maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya sehingga ia tidak akan disiksa di akhirat nanti. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi nah penyayang.[7]
Ibnu al-Qayyim mengatakan,hukuman potong tangan bagi pencuri lebih mengena dan lebih mengajarakan daripada hukum cambuk. Namun kejahatannya belum mencapai tarap yang layak dihukum mati, dan hokum yang sesuai dengan tindakan tersebut adalah menghilangkan salah satu dari anggota tubuhnya.
Belia juga berpendapat, dalam kejahatan pencurian tidak disyari’atkan menghilangkan nyawa, tapi disyariatkan kepada mereka hukuman tertentu yang bersumber ada kebijaksanaan, kasih sayang, kelembutan, kebaikan dan keadilan-Nya, guna mengikis dan memutuskan keinginan berbuat zalim dan besmusuhan sesame manusia. Disamping itu agar manusia merasa puas dengan apa yang telah dianugerahkan oleh Pemilik dan Penciptanya, sehingga tidak keinginan untuk merampah hak orang lain.[8]
Menurut zhahir QS Al-Ma'idah 38 hukuman tindak pidana pencurian berupa potong tangan (qath al-yad). Mengenai hal ini pendapat para ulama terbagi menjadi dua:
Pertama, hukuman tersebut bersifat taabbudi karena itu tidak dapat diganti hukuman lain, dengan penjara atau lainnya, sebagaimana pernah dilaksanakan pada masa Rasul. Demikian menurut sebagian ulama.
Kedua, hukuman tersebut ma 'qulul ma'na, yakni mempunyai maksud dan pengertian yang rasional. Karena itu ia dapat berujud dengan hukuman lain, tidak harus dengan potong tangan. Demikian menurut sebagian ulama, Menurut para pendukung pendapat kedua ini, yang dimaksud dengan "potong tangan" sebagaimana ditegaskan dalarn ayat adalah "mencegah melakukan pencurian". Pencegahan tersebut dapat diwujudkan dengan penahanan dalam penjara dan sebagainya, tidak mesti harus dengan jalan potong tangan. Dengan demikian, ayat tersebut dapat berarti: Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, cegahlah kedua tangannya dari mencuri dengan cara yang dapat mewujudkan pencegahan.[9]

2.    Dasar sanksi hukum bagi pencuri dalam al-hadist
اقْطَعُوا فِي رُبُعِ دِينَارٍ، وَلاَ تَقْطَعُوا فِيمَا هُوَ أَدْنَى مِنْ ذَلِكَ
“Potonglah karena (mencuri sesuatu senilai) seperempat dinar, dan jangan dipotong karena (mencuri) sesuatu yang kurang dari itu”. ( HR. Bukhori )

لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلَّا فِي رُبُعِ دِيْنَارٍ فَصَاعِداً
”Tidaklah dipotong tangan seorang pencuri kecuali (jika ia telah mencuri sesuatu) senilai seperempat dinar atau lebih”. ( HR. Muslim )[10]

Seperempat dinar pada waktu itu adalah senilai tiga dirham, dan satu dinar itu senilai dengan duabelas dirham.[11]
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, menjelaskan hadits di atas bahwa yang di jadikan patokan hukuman potong tangan ini adalah emas, kerana emas adalah barometer semua perhiasan yang ada dibumi. Beliau juga mengutip pendapat Ibnu Hazm yaitu pencuri dikenai hukum potong tangan, baik barang yang dicuri itu sedikit maupun banyak. Kecuali emas, tidak akan dilakukan hukuman potong tangan jika emas yang diambil senilai kurang dari seperempar dinar.[12]
 
D.  Persyaratan Hukum Potong Tangan
Dalam hukuman potong tangan yang di syaria’atkan Islam, tidak semua pencuri mendapatkan hukuman tersebut, namun ada syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan tindakan tersebut.
Pertama, pencuri adalah orang mukalllaf dan mencuri dengan kemaunnya sendiri, dan pencuri tersebut waras atau tidak gila, serta bukan anak-anak. Kedua, pencuri bukan ayah dari pemilik harta yang dicuri, bukan pula anaknya, bukan istri atau suaminya, yang mereka memiliki hak terhadp harta tersebut. Ketiga, pencuri tersebut bukan orang yang memiliki harta yang dicurinya. Keempat, barang yang dicuri bukan harta mubah, bukan khamr, atau barang yang nilainya sama dengan seperempat dinar. Kelima, barang yang dicuri tersimpan di tempat penyimpanan.Keenam, harta tersebut diambil tidak dengan cara khulsah, atau tidak dengan ghashab, dan intihab.[13]
Menurut Abu Bakar Jabir Al-Jazairi,(2000:669) mengatakan, adapun syarat hukum potong tangan ialah: Pertama, pencuri adalah orang berakal dan baligh. Kedua, pencuri adalah bukan ayah dari pemilik harta yang dicuri, bukan anaknya, dan bukan istrinya. Ketiga, pencuri tidak memiliki syubhat kepemilikan terhadap harta yang dicurinya. Keempat, Barang yang dicuri adalah baranga yang tidak haram dan mencapai seperempar dinar. Kelima, Harta yang dicuri di tempat penyimpanan. Keenam,harta di ambil dengan cara sembunyi-sembunyi.[14]
Maka dapat di jelaskan bahwa Syarat-syarat di adakannya hukum potong tangan adalah :
1.    Pencuri adalah orang mukalllaf
2.    Pencuri adalah bukan ayah dari pemilik harta yang dicuri, bukan anaknya, dan bukan istrinya
3.    Barang yang dicuri bukan barang syubhat
4.    Barang yang dicuri adalah baranga yang tidak haram
5.    Barang yang dicuri di tempat penyimpanan
6.    Dilakuka dengan sembunyi-sembunyi

E.  Hikmah Hukuman Bagi Pencuri
Karena pecurian adalah unsur yang merusak ditengah-tengah masyarakat, maka harus dilakukan pembasmiannya dengan cara menetapkan hukum yang sesuai untuk menjadikan jera atau kapok. Hukum pemotongan tangan bagi pencuri bertujuan untuk agar tidak terjadi kerusakan yang menjadi keresahan bagi orang lain.[15]
Selain itu, tujuannya dalam penegakan hukum potong tangan tersebut adalah merupaka bentuk rasa kasih sayang terhadap makhluq dengan cara menahan manusia dari perbuatan-perbuatan munkar. Bukan sebagai obat terhadap rasa amarahnya ataupun keinginan berlaku sombong atas makhluk.[16]
Mengambil hak orang lain berarti merugikan sepihak. Ketentuan menunjukan bahwa pencuri yang di kenai sanksi hokum adalah mencuri yang bukan iseng, ataupun karena keterpaksaan. Sanksi hukuman bagi pencuri bertujuan antara lain sebagai berikut:
1.    Tindakan preventif yaitu menakut-nakuti, agar tidak terjadi pencurian, mengingat hukumannya yang berat.
2.    Membuat para pencuri timbul rasa jera, sehingga ia tidak melakukan untuk kali berikutnya.
3.    menimbulkan kesadaran  kepada setiap orang agar menghargai dan menghormati hasil jeri payah orang lain.
4.    Menimbulkan semangat produktivitas melalui persaingan sehat.
5.    Memberikan arahan agar para orang kayamelihat kondisi masyarakat, sehingga tidk hanya mementingkan diri sendiri.[17]
Dapat di simpukan bahwa hikmah diadakannya hukuman bagi tindakan pencurian adalah untuk mencegah dan memutus rantai pencurian serta  menyadarkan kepada pelaku pencuri agar tidak lagi mencuri karena mengingat hukuman yang begitu berat jika mereka melakukan perbuatan tersebut. Hikmah yang lain adalah untuk menjamin kenyamanan hidup bagi para pemilik harta agar tidak mengalami keresahan dalam hidupnya.









BAB III
SIMPULAN

Mencuri adalah suatu tindakan mengambil harta yang terjaga dan mengeluarkan dari tempat penyimpanannya tanpa ada kerancuan (syubhat) di dalamnya dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi
Dalam perbuatan pencurian juga pasti juga memiliki dampak negative, baik itu bagi pelaku pencuri maupun korban pencurian tersebut. Dampak bagi pelaku pencuri misalnya adalah, mengalami kegelisahan dalam batin, akan mendapat hukuman yang tegas dan yang sesuai dengan perbuatannya, mencemarkan nama baik sendiri maupun keluarganya, dan sudah pasti akan makin merusak ke Imanan orang tersebut. Sedangkan dampak terhadap korban pencurian adalah mengalami kerugian dan kekecewaan, mengalami ketakutan setelah mengalami peristiwa tersebut, dan menimbulkan ketidak tenangan terhadap harta yang ia miliki.
Bentuk hukuman yang pantas dalam Islam bagi pencuri adalah potong tangan, sebagai mana firma Allah
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
 “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana(Al-Ma’idah 38)
          Adapun syarat-syarat untuk melakukan hukuman potong tangan yaitu seorang pelaku pencuri adalah adalah orang dewasa dan tidak gila, pencuri adalah bukan orang tuanya ( Keluraga ) yang masih mukhrim, barang yang dicuri bukan barang syubhat, barang yang dicuri adalah baranga yang tidak haram, barang yang dicuri di tempat penyimpanan, dan dilakuka dengan sembunyi-sembunyi.
Adapun hikmah diadakannya hukuman bagi tindakan pencurian adalah untuk memutus rantai pencurian dan menyadarkan kepada pelaku pencuri agar tidak lagi mencuri karena mengingat hukuman yang begitu berat jika mereka melakukan perbuatan tersebut




DAFTAR PUSTAKA
Abdul malik kamal bin as-sayyidah. 2008. Shahih fiqih sunnnah jilid 5. Jakarta: At-tazkia
M. Quraish Shihab,2001. Tafsir Al Misbah-Volume 3 ,Ciputat : Lentera Hati
Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri.2000. Ensiklopedi Muslim. Jakarta: Darul Fallah
Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri. 2009. Minhajul Muslim.Surakarta: Insan kamil
Ibrahim Dasuqi asy-Syahawi. 1961. As-Sariqah. Kairo: Maktabah Dar al-Urubah





[1] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah - jilid 5, (2008:131-132)
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah-Volume 3 , (2001 : 85-87)
[8] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah - jilid 5, (2008:133-134)
[9] Ibrahim Dasuqi asy-Syahawi. As-Sariqah.(1961:9-13)
[10] Shahih, Muslim, (hadits ke-1684)
[12] Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih fiqih sunnah - jilid 5, (2008:167)
[13] Abu Bakar Jabir Al-Jaza’iri, Minhajul Muslim, (2009:887-888)
[14] Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Ensiklopedi Muslim, (2000:669)
[15] Syaikh Dr. Shahih bin Fauzan Al-Fauzan,  Ringkasan Fikih Lengkap, (2005:1071)



Tidak ada komentar: