QANUN DAN SYARI’AH DALAM SISTEM
HUKUM DI SAUDI ARABIA
QANUN
DAN SYARI’AH DALAM SISTEM HUKUM DI SAUDI ARABIA
Oleh: Asep Awalluddin
A.Pendahuluan
Sejarah
panjang yang dilalui Saudi Arabia dimulai ketika suku bangsa Semit tinggal di
semenanjung Arab sejak ribuan tahun silam. Suku Badui umumnya tinggal di
pedalaman, dan beberapa suku lain tinggal di sepanjang jalur lalu lintas
kafilah yang secara berkala melintasi padang pasir. Sejarah mencatat bahwa kota
Mekah dan sekitarnya sebagai tempat transit pada jalur perdagangan membawa
negeri tersebut ke tingkat ekonomi yang baik sebelum lahirnya Nabi Muhammad
SAW. Peran bangsa Arab semakin penting dalam percaturan dunia sesudah Nabi
Muhammad SAW mengembangkan agama Islam. Setelah 13 tahun mengembangkan Islam di
Mekah, Nabi Muhammad SAW bersama pengikutnya hijrah ke Madinah dan membangun
sebuah Negara muslim dan melahirkan Piagam Madinah, konstitusi pertama dalam
sejarah kemanusiaan, yang selalu menjadi acuan bagi Negara muslim hingga kini.
Saudi Arabia atau yang juga dikenal dengan sebutan Arab Saudi, adalah merupakan
negara Arab yang terletak di Jazirah Arab. Beriklim gurun dan wilayahnya
sebagian besar terdiri atas gurun pasir dengan gurun pasir yang terbesar adalah
Rub Al- Khali. Orang Arab menyebut kata gurun pasir dengan kata sahara.
B. Kondisi Geografis Saudi Arabia Pada masa dahulu.
Daerah
Arab Saudi dikenal menjadi dua bagian yaitu daerah Hijaz dan gurun Najd. Hijaz
adalah daerah pesisir barat Semenanjung Arab yang di dalamnya terdapat
kota-kota di antaranya adalah Mekkah, Madinah dan Jeddah, sedangkan gurun Najd
yaitu daerah-daerah gurun sampai pesisir timur semenanjung arabia yang umumnya
dihuni oleh suku-suku lokal Arab (Badui) dan kabilah-kabilah Arab lainnya. Pada
masa awal tumbuh dan berkembangnya Islam. Wilayah ini memiliki pusat
pemerintahan di Madinah dari sejak Nabi Muhammad sampai masa khalifah Utsman
bin Affan. Sejak masa khalifah Ali bin Abi Thalib pusat pemerintahan
dipindahkan ke Kufah di Irak sekarang, kemudian berturut turut menjadi bagian
wilayah Daulah Ummayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyah Turki. Arab Saudi terletak
di antara 15°LU - 32°LU dan antara 34°BT - 57°BT. Luas kawasannya adalah
2.240.000 km². dengan jumlah penduduk sebanyak 27.019.731 jiwa (sensus 2006).
Arab Saudi merangkumi empat perlima kawasan di Semenanjung Arab dan merupakan
negara terbesar di Asia Timur Tengah. Permukaan terendah di sini ialah di Teluk
Persia pada 0 m dan Jabal Sauda' pada 3.133 m. Arab Saudi terkenal sebagai
sebuah negara yang datar dan mempunyai banyak kawasan gurun. Gurun yang
terkenal ialah di sebelah selatan Arab Saudi yang dijuluki "Daerah
Kosong" (Rub al Khali), kawasan gurun terluas di dunia. Namun demikian di
bagian barat dayanya, terdapat kawasan pegunungan yang berumput dan hijau.
Secara geografis, Negara Arab digambarkan seperti empat persegi panjang yang
berakhir di Asia Selatan. Negara Arab dikelilingi berbagai Negara; sebelahutara
oleh Syiria, sebelah timur oleh Nejd, sebelah selatan oleh Yaman dan sebelah
barat oleh Laut Erit. Semenanjung Arab merupakan semenanjung barat daya Asia,
sebuah semenanjung terbesar dalam peta dunia. Dari sisi kondisi cuaca,
Semenanjung Arab merupakan salah satu wilayah terkering dan terpanas. Meskipun
diapit oleh lautan di sebelah barat dan timur, laut itu terlalu kecil untuk
dapat memengaruhi kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun hujan. Hanya Yaman
dan Asir yang mendapatkan curah hujan yang cukup untuk bercocok tanam secara
teratur. Dataran subur lainnya, meskipun tidak merata kesuburannya, bisa
dijumpai di sekitar pesisir. Permukaan tanah Hadranaut dicirikan dengan
perbukitan landai yang cukup banyak memilki kandungan air bawah tanah. Oman,
wilayah paling timur, mendapat curah hujan yang cukup. Daerah-daerah yang
sangat panas dan kering adalah Jedah, Hudaidah, dan Masqat.
C. Sejarah Singkat Kerajaan Saudi Arabia
Pemerintah
Saudi bermula dari bagian tengah semenanjung (jazirah) Arab yakni pada tahun
1750 ketika Muhammad bin Sa'ud bersama dengan Muhammad bin Abdul Wahhab bekerja
sama untuk memurnikan agama Islam yang kemudian dilanjutkan oleh Abdul Aziz Al
Sa'ud atau Abdul Aziz Ibnu Su'ud dengan menyatukan seluruh wilayah Hijaz. Pada
tahun 1902 Abdul Aziz menguasai Riyadh dari penguasa Al-Rashid dari Najd Utara,
kemudian Al-Ahsa kemudian wilayah Najd antara tahun 1913-1926. Pada tanggal 8
Januari 1926, Abdul Aziz menjadi penguasa wilayah Najd. Dengan menandatangani
perjanjian di Jeddah pada tanggal 20 Mei 1927, Arab Saudi menyatakan
kemerdekaannya. Kerajaan Arab Saudi diproklamirkan secara resmi pada tanggal 23
September 1932 oleh ‘Abd Al- ‘Aziz ibn ‘Abd Al-Rahman Al-Sa’ud dan diperintah
oleh keturunannya dalam bentuk pemerintahan kerajaan. Najd yang berada di
Arabia Tengah, daerah ini merupakan kampung halaman keluarga penguasa Al-Sa’ud
dan pusat gerakan Wahhabiyah, yang memberi alasan bagi penaklukan semenanjung
ini pada abad ke-18 dan ke-20, serta membentuk karakter keagamaan pemerintah
dan masyarakat di bawah pemerintahan keluarga Al-Sa’ud. Geakan Wahhabiyah
dimulai pada pertengahan abad ke-19 dengan meunculnya persekutuan antara kepela
suku Najd Selatan, Muhammad ibn Sa’ud, dan seorang pembaru agama Najd, Muhammad
ibn ‘Abd Al-Wahhab. Dalam ajarannya, Ibn Al-Wahhab menekankan keesaan Allah
dalam praktik ritual, menekankan perlunya berprilaku yang selaras dengan
hukum-hukum Al-Qur’an dan praktik-praktik yang dicontohkan dalam Sunnah Nabi.
Pada hakikatnya, pembentukan kerajaan Saudi Arabia tidak terlepas dari peran
kedua tokoh tersebut. Dengan meniru metode nenek moyangnya, Abd Al-‘Aziz
mencapai tujuannya dengan cara menyebarluaskan ideologi Wahhabiyah di ingkat
masyarakat, mendukung pengajaran Al-Qu’ran, shalat di masjid, dan misi
pengajaran di desa-desa terpencil serta di kalangan suku Badui, dan dengan
menciptakan kekuatan militer, Ikhwan (persaudaraan, yang diilhami oleh semangat
penaklukan melalui keimanaan.
D. Sistem Pemerintahan Saudi Arabia
Sistem
pemerintahan Saudi Arabia adalah berbentuk Monarki yang berdasarkan hukum
Islam. Karena Raja mengambil otoritasnya dari rakyat. Hal ini selaras dengan
pendapat Munawir Syadzali, bahwa sistem pemerintahan Saudi Arabia adalah
Monarki murni, karena kepala Negara adalah seorang raja yang dipilih oleh dan
dari kelurga besar Saudi. Raja Saudi di samping sebagai Kepala Negara juga
merupakan kepala keluarga besar Saudi. Namun demikian, pendapat lain mengatakan
bahwa model kekuasaan Saudi Arabia ini adalah model fusionis, yaitu model
kekuasaan gabungan antara rakyat dengan Tuhan. Sedangkan Charles Didier
berpendapat bahwa sistem pemerintahan Saudi Arabia ini adalah Teokrasi, karena
dalam pemerintahannya diberlakukan hukum yang bersumber dari al-Qur’an. Arab
Saudi menempatkan Islam sepenuhnya dalam bidang struktur pemerintahan,
kebijaksanaan, legitimasi, dan dalam melaksanakan setiap perubahan. Negara
praktis tidak memiliki undang-undang dasar, karena sumber hukumnya adalah
Islam. Sebuah badan, yang disebut Syari’ah, membuat segala peraturan untuk
ketertiban masyarakat. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat
undang-undang. Karena itu, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik,
raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama. Keluarga kerajaan meliputi
beberapa ribu bangsawan yang umumnya memiliki kedudukan politik dan status
sosial penting di Negara. Para pemuka bangsawan dipilih langsung oleh raja,
kadang-kadang dengan pertimbangan para ulama. Pada dasarnya, kekuasaan raja
didukung oleh para pemuka bangsawan, ulama, dan para pemimpin suku di
daerah-daerah. Raja juga membentuk semacam kabinet yang pada umumnya berdarah
bangsawan. Para menteri dalam cabinet ini bertugas memimpin departemen
masing-masing, dan memberikan saran dan usul kepada raja. Untuk mengatur
daerah, raja membagi kerajaanya atas sejumlah propinsi yang dipimpin oleh para
gubernur. Untuk memimpin daerah, tiap gubernur dibantu oleh sebuah dewan daerah
yang anggotanya antara lain para kepala suku. Kadang-kadang kepala suku juga
merangkap sebagai wali kota. Untuk menjalankan kekuasaan kehakiman, seorang
kadi mengepalai badan pengadilan. Kekuasaan seorang qadi hanya terbatas pada
persoalan hukumdan peraturan yang dikeluarkan oleh syari’ah. Kalau kasusnya
menyangkut peraturan yang diundangkan dengan dekrit raja, maka yang berhak
mengadili bukan qadi, melainkan gubernur atau kepala daerah setempat. Hukuman
cambuk, potong tangan, dan pancung masih berlaku di negeri ini. Saudi Arabia
tetap mempertahankan otoritas kegamaan dan politik tradisionalnya, yakni
pertalian keluarga merupakan faktor utama dalam pemerintahan. Suatu hal yang
dengan kuat dapat memberikan kesan bahwa rezim Saudi sebenarnya, bukanlah tipe
kekusaan teokrasi. Sumber legitimasi mereka ada dua, yaitu paham Saudism dan
Wahhabism; atau dapat dikatakan model kekuasan Dualis, sebagaimana
pendapat-pendapat tersebut diatas. Sehingga hal ini berimplikasi pada tidak
terdapatnya anggota dewan yang anggota-anggotanya dipilih oleh rakyat, tidak
ada partai politik dan tidak ada serikat buruh. Partai politik dianggap tidak
ada gunanya, karena keadilan dianggap telah terdapat di seluruh wilayah Negara
dengan syari’ah sebagai pengatur. Di samping itu, hal tersebut bertentangan
dengan Al-Quran yang melarang memecah belah ummat dalam kelompok. Sementara
serikat buruh ditolak dan dianggap tidak ada gunanya, karena hukum negara
sepenuhnya melindungi kaum buruh: Yang ada adalah majelis syura yang
anggota-anggotanya ditunjuk dan dingkat oleh raja. Namun demikan, tidaklah
mutlak dan tanpa batas, karena raja harus tunduk kepada syari’ah, sehingga
pelanggaran terhadap syariah dapat dijadikan dasar untuk menurunkan raja dari
tahtanya. Hal ini terjadi pada raja Sa’ud ibn Abd al-Aziz yang memerintah dari
tahun 1953-1964 M. beliau diturunkan oleh suatu majelis yang terdiri atas
sejumlah pangeran, ulama dan pejabat tinggi kerajaan, dengan alasan dia
menghambur-hamburkan harta kekayaan Negara dalam jumlah besar dengan membangun
istana-istana barunya, juga melakukan money politic kepada kepala suku dengan
tujuan agar mereka dapat mendukungnya. Dari peristiwa ini, kerajaan dilanda
krisis moneter yang pada gilirannya menjelma mejadi krisis politik; sehingga
pada bulan Oktober 1962 impeachment terhadap Saud pun tidak dapat dihindari.
Dengan demikian ia terpaksa menyerahkan kekuasaanya kepada saudaranya, yang
bernama Faisal. Tepatnya pada tahun 1964 Saud secara resmi turun dari tahtanya,
kemudian Faisal pun menggantikannya sebagai raja. Faisal terus memegang kendali
pemerintahan sampai ia mati terbunuh pada tahun 1975. susunan, gaya dan bahkan
kebijakan-kebijakan pemerintahan Saudi Arabia, dewasa ini sebagian besar tetap
sama seperti yang dicanangkan olehnya.
E. Dinamika Penerapan dan Pembaruan Hukum Islam di Saudi
Arabia
Saudi
Arabia adalah salah satu Negara yang tetap mempertahankan landasan tata politik
dan legitimasi tradisional di tengah-tengah transformasi sosial dan ekonomi
yang sangat pesat. Sebagaimana nama Saudi Arabia sebagai nama Negara yang
diresmikan pada tahun 1932. Negara ini pada dasarnya merupakan hasil dari
persekutuan yang terjadi di Dariyyah (pada tahun 1744 M) antara tokoh ulama
yang bernama Muhammad ibn Abd al-Wahhab (1703-1792 M) dengan seorang amir
Muhammad ibn Saud, dari suatu konfederasi suku-suku terkuat ‘Anaza (‘Unaiza).
Tetapi keadaan Saudi Arabia sebelum ibn Wahhab mengadakan persekutuan dengan
amir ibn Saud, semenanjung Arab masih merupakan bagian dari Daulat Utsmaniyyah
yang telah didominasi oleh keyakinan agama islam. Atau dalam istilah kekuasaan,
model tradisional; kekuasaan pada waktu itu dipegang oleh khalifah dan sultan
utsmaniyah. Jabatan intermediate, yang biasanya dipegang oleh para ulama, pada
waktu itu secara praktis nampaknya kosong, sejak di bawah kekuasaan Utsmaniyah,
para ulama telah berhenti mewakili apa yang mereka wakili sebelumnya pada
kedaulatan Utsmaniyah dan Abbasiyah. Pada masa ini, Muhammad ibn Abd al Wahhab
menjadi salah seorang Qadhi dalam bidang peradilan. Dia mulai menerapkan hukum
rajam dan hudud serta hukum-hukum lainnya dalam pengadilan. Secara umum, hukum
yang diberlakukan di pengadilan adalah hukum yang sesuai al-Quran, al-Sunnah,
dan hasil ijtihad para ulama salaf. Lembaga peradilan pada masa ini dinilai
sangat penting, karena berhubungan langsung dengan masyarakat, baik dalam
persolan-persoalan pribadi maupun sosial; jabatan Qadhi dipegang oleh
orang-orang yang dinilai mampu memecahkan persoalan, melerai persengketaan dan
mengeni kasus hukum yang terjadi dengan pendekatan agama. Dengan demikian agama
dan Negara dikaitkan dengan pola kaitan yang sangat kuat. Dan rezim parlementer
juga konstitusionl diberlakukan antara tahun 1962 dan 1967, tetapi sayang
sistem ini kemudian ditinggalkan. Tepatnya prestasi tersebut di atas berakhir
secara mendadak pada tahun 1819 M ketika gubernur Utsmaniyah, Muhammad Ali
menyerang Saudi dan menghancurkan ibu kotanya (Dir’iya) dan Wahabisme untuk
sementara ditindas. Penyerangan ini disebabkan oleh pemerintahan Utsmaniyah di
Mesir merasa terancam dengan semakin meluasnya wilayah kekuasaan Saudi.
Terutama setelah penaklukan Hijaz. Pada saat ini yang asalnya ulama mempunyai
peran yang sangat strategis dalam segala bidang di seluruh jazirah Arabia,
seperti sebagai penasihat politik bagi para penguasa, pimpinan peradilan,
pimpinan pendidikan Islam, sebagai sumber nasihat moral dan otoritas politik
baik ulama Ibadiyah, zaidiyah, Syafi’iyah maupun Wahhabiyah, menjadi berubah.
Peradilan ini tidak lagi sepenuhnya berada di tangan Qadhi (para ulama) kecuali
hanya menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan atau
perdata (al-Akhwal al-Syakhshiyah); persoalan-persoalan agama dipandang sebagai
persoalan individual. Para qadhi banyak diintervensi oleh para penguasa politik
(gubernur dan syarif); sebagian besar qadhi menjadi alat politik di tangan
syarif, seringkali para qadhi mendapat “hadiah” dari para syarif sebelum
memproses peradilan, dengan harapan kasusnya dimenangkan oleh qadhi. Hal
demikian, tentu saja, mengakibatkan lembaga peradilan tidak lagi independent.
Ditambah lagi dengan diberlakukannya peradilan tradisional bagi orang-orang
Arab Badui yang berdasarkan adat istiadat setempat yang kadang kala
bertentangan dengan syara’. Misalkan pencurian dianggap tidak termasuk
kejahatan, tapi dianggap sebagai tanda keberanian. Padahal hingga satu atau dua
dekade teakhir, jazirah Arabia ini hampir tidak terpengaruh oleh nasionalisme
dan modernisme sekular, dan selalu mencurigai setiap peubahan sosial dan
ideologi yang tengah berkembang di dunia arab. Baru setelah sebab yang telah
disebutkan di atas, juga karena perang dunia II, jazirah arab ini menjadi
sasaran bagi beberapa kekuatan yang telah berpengaruh di Timur Tengah. Beberapa
organisasi pemerintahan modern dan konsep politik revolusioner segera diperkenalkan.
Kondisi yang tidak menyenangkan tersebut, bukan merupakan akhir dari
persekutuan Saud-Wahhab yang menemukan ekspresi politik yang kedua kalinya ini
berpusat di Riyadh dan dimulai sejak tahun 1920-an. Persekutuan itu kurang
berhasil dibanding dengan yang pertama. Perlawanan dari orang-orang utsmaniyah.
Pertempuran lokal dan perkelahian dalam keluarga Saud, karena memungkinkan
mereka untuk memperoleh kekuasaan atas wilayah yang sekaligus memberi mereka
alasan yang kuat untuk menyingkirkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari
semenanjung ini, dan hal itu juga sangat bermanfaat bagi para pengikut islam
fanatik, sebab menolong mereka untuk menyebarkan agama islam. Wujud yang jelas
dari gabungan-gabungan kekuatan ini terjadi pada awal abad 20 M, yaitu ketika Abd
al Aziz bergerak untuk merebut menguasai kembali wilayahnya dan memperoleh
hasil yang gemilang pada tahun 1924. Pada masa ini tatanan sistem peradilan
kembali berlandaskan hukum-hukum yang bersumber dari al-Quran, al-Sunnah dan
pendapat ulama salaf. Sejak saat itu sampai sekarang, kedudukan qadhi kembali
meningkat dan berwenang kembali mengurusi tidak hanya perkara yang termasuk
dalam kategori al-Akhwal al-Sykhshiyah, tapi juga pidana. Hukum hudud kembali
diterapkan dengan sanksi hukum potong kepala (pancung), rajam, cambuk dan
potong tangan. Hukum ini berlaku tidak hanya bagi muslim, tapi juga bagi non
muslim, misalnya pihak yang berwajib pernah menghukum cambuk beberapa orang
inggris, karena menjual minuman keras kepada orang islam. Sekarang ini ada Pengadilan
Banding dan Badan Kehakiman tertinggi. Akan tetapi kata putus terakhir ada di
tangan raja, melalui wakil-wakilnya (amir). Namun sekalipun demikian, para
qadhi tetap memiliki kebebasan dalam memutuskan perkara dalam arti pemerintah
(raja) tidak bisa dengan mudah mempengaruhinya, karena para qadhi tersebut
terkenal adil, mempunyai integritas tinggi, umumnya tidak dapat disuap dan
merupakan tokoh-tokoh kunci masyarakat yang nasehatnya seringkali didengar
orang. Sistem Hukum Menurut J.N.D. Anderson, sistem-sistem hukum di dunia
islam, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok: a. Sistem-sistem
yang masih mengakui syariah sebagai hukum asasi dan kurang lebih masih
menerapkannya secara utuh. b. Sistem-sistem yang meninggalkan syariah dan menggantinya
dengan hukum yang sama sekali sekuler c. Sistem-sistem yamg mengkompromikan
kedua pandangan sistem tersebut. Dari ketiga criteria tersebut, kiranya Saudi
Arabia dapat digolongkan kepada salah satu Negara yang hingga kini masih
menerapkan syariah islam dalam segala aspek kehidupan sepanjang syari’ah telah
mengaturnya. Negara ini belum menerima sistem hukum lain kecuali sedikit saja
yang bersumber pada inspirasi barat. Seperti ardonasi (Nizam) dagang dinyatakan
berlaku dan dewan (mahkamah) dagang dibentuk di Jeddah dengan maksud untuk
menyelesaikan pertikaian mengenai transaksi-transaksi dagang sesuai dengan
mengambil prinsip-prinip dagang Turki Utsmani tahun 1850 M yang menggabungkan
antara prinsip zakat dengan aturan hukum fiskal Amerika. Pemerintah Saudi juga
telah mengundangkan peraturan perdagangan (1954), peraturan-peraturan
kewarganegaraan (1954), undang-undang pemalsuan (1961), hukum perdagangan
(1963), hukum perburuhan dan pekerja (1970), hukum jaminan sosial (1970) dan
hukum jawatan sipil (1971). Aturan–aturan ini tidak bermaksud menyeleweng dari
syariah, melainkan sekedar menjabarkan pelaksanaan melalui tindakan-tindakan
administratif atau untuk melengkapinya dengan mengemukakan norma-norma dalam
menangani masalah-masalah yang tidak diliputinya dengan jelas. Di samping itu
para penguasa Saudi telah menggunakan hak istimewa mereka untuk mengubah
struktur tatanan hukum. Di bidang luar syariah, pada tahun 1955 telah dibentuk
badan pengaduan (Diwan al-Mazalim), yang menemukan inspirasinya di dalam sejarah
Abbasiyah. Dalam menghadapi pertumbuhan, dekrit-dekrit di luar hukum, pimpinan
Saudi perlu mendirikan sebuah pengadilan administratif dalam rangka
mendengarkan pengaduan-pengaduan. Contohnya, peraturan penanaman modal asing
(1964) memberikan kekuasaan kepada pengadilan untuk menjadi juru penengah
terakhir apabila seorang pengusaha merasa pemerintah telah memperlakukanya
dengan tidak adil. Para ulama memegang peranan yang cukup penting dalam
pembentukan keputusan-keputusan nasional; nasihat dan fatwa mereka sering
dijadikan dasar oleh raja dalam dekrit-dekritnya. Dekrit ini memiliki kekuatan
yang cukup besar dalam sistem hukum di Saudi Arabia, karena kedudukan dekrit
sama dengan qanun atau dalam istilah mereka (Saudi Arabia) disebut dengan
istilah nizam yang ditetapkan berdasarkan maslahah (kepentingan umum).
Contohnya, ketika Abd al-Aziz mendatangkan teknisi-teknisi minyak yang berasal
dari orang kafir, lalu raja menyebut beberapa kasus yang telah terbukti pada
masa Nabi yang pernah memperkerjakan orang-orang non muslim, baik secara
individu maupun kelompok. Raja bertanya dihadapan para ulama: Apakah saya benar
atau salah?” Para ulama menjawab dengan suara bulat bahwa ia benar. Para ahli
hukum Arab Saudi pada dasarnya berpegang pada madzhab Hambali, dengan memakai
enam rujakan kitab, khususnya kitab Syarh al-Muntaha dan Syarh al-Iqna. Namun
mereka tetap menerima pendapat madzhab lain. Sepanjang tidak bertentangan
dengan madzhab Hambali secara substantif, khususnya mengenai masalah-masalah
yang tidak diuraikan secara jelas atau tidak disinggung sama sekali dalam
madzhab Hambali. Prinsip pokok madzhab ini adalah “asal segala sesuatu itu
boleh, sampai ia terbukti haram”. Arab Saudi adalah Negara Islam merdeka dengan
corak yang khas (typical) yang kuat sekali menghargai syari’ah sebagai hukum
yang mengatur setiap aspek kehidupan. Negara ini tidak “menerima” sistem hukum
lain mana pun; dan ia sangat sedikit melaksanakan hukum yang bersumber pada
inspirasi Barat. Memang, setiap aturan hukum yang bertentangan dengan
konsep-konsep asasi Islam berarti, secara teoritis, juga bertentangan dengan
hukum asasi Hijaz yang dinyatakan berlaku oleh Raja Abdul Aziz ibnu Sa’ud
karena pasal 6 hukum tersebut menyatakan, “Aturan hukum di kerajaan Hijaz harus
senantiasa disesuaikan dengan Kitab Ilahi (Al-Qur’an), sunah Nabi, dan
perbuatan para sahabat serta para pengikut setianya. Peraturan-peraturan baru
yang muncul dewasa ini menunjukkan bahwa pembaharuan hukum Islam di Saudi
menggunakan sistem adaptasi dan sudah tentu, peraturan-peraturan itu tidak
menyimpang dari syariat Islam, tetapi justru melengkapinya. Selain itu, Saudi
Arabia tidak memilki konstitusi resmi syariah. Semuanya dikembalikan pada
Al-Qur’an sebagai konstitusinya. Dalam hal ini, Arab Saudi tidak
mengodifikasikan hukum Islam pada tataran hukum positif atau diundangkan.
F. Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Saudi Arabia merupakan sebuah
Negara yang tetap menerapakan dan memberlakukan hukum Islam dalam segala aspek
kehidupan. Negara praktis tidak memiliki undang-undang dasar, karena sumber
hukumnya adalah Islam. Raja adalah penguasa eksekutif sekaligus pembuat
undang-undang. Karena itu, selain mempunyai kedudukan sebagai pemimpin politik,
raja berperan juga sebagai imam atau pemimpin agama. Namun demikian, dewasa
muncul berbagai macam peraturan sebagai bentuk dari pembaharuan hukum Islam
dalam pemerintah yang eksistensianya tidak bermaksud menyeleweng dari syariah,
melainkan sekedar menjabarkan pelaksanaan melalui tindakan-tindakan administratif
atau untuk melengkapinya dengan mengemukakan norma-norma dalam menangani
masalah-masalah yang belum jelas dijabarkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar
al-Umrusi, Al-Tasyri’ wal Qadha fil Islam, (Iskandariah: Muassasah Syubab
al-Jami’ah, 1984).
Badri
Yatim, Sejarah Sosial Keagamaan Tanah Suci, (Jakarta: Logos, 1949).
Charles
Didier, Sajour with The Grand Sharif of Mecca, (New York: The Oleander, 1985).
Dedi
Supriyadi, Sejaran Hukum Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2007).
Dewan
Redaksi, EnsiklopediIslam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Edward
Mortimer, Faith and Power: The Politics of Islam, terj. Enna Hadi dan Rahmani Astuti.
(Bandung: Mizan, 1984).
H.
Lammens, S.J., Islam: Beliefs and Institutions, (New Delhi: Oriental Books
Reprint Corporation, 1979).
John
L. Esposito [ed], Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001),
jilid 1., Identitas Islam Pada Perubahan Sosial Politik, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1986).
Ira
M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, (Jakarta: RajaGrafindo, 1999), bag. 3.
Munawir
Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1993).
Mehdi
Muzaffari, Kekuasaan dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1994).
James
P. Piscatory, Idiological Politic in Saudi Arabia, Penyunting Harun Nasution
dan Azyumardi Azra dalam “Perkembangan Modern dalam Islam”, (Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia, 1985).
Philip
K. Hitti, History of The Arab, pent. R. Cecep Likman Yasin, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2006).
J.N.D.
Anderson, Islamic Law In The Modern World. Terj. Machnun Husain, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1994).
www.
id.wikipedia.org/wiki/Arab_Saud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar